Minggu, 27 Maret 2011

Riiiiiii…

1/
Hai, Ri! Beberapa hari yang lalu aku berbincang tentang masa kecil dengan seorang teman. Kami ngobrol sampai larut malam. Dari obrolan itu aku teringat padamu, Ri. Kamu adalah bagian dari masa kecilku, walaupun kita tak pernah bertemu lagi selama sepuluh tahun. Apa kabarmu sekarang?

Kita bertemu saat kelas dua sekolah dasar kalau tidak salah. Kamu siswa pindahan dari Bima. Aku masih ingat rambut panjangmu yang hitam dan ikal, kulit hitam manis dan
senyummu yang juga manis. Tawamu yang lepas selalu terdengar menyenangkan. Tawa lepas tapi tidak terbahak-bahak, tidak membuat telinga pekak.

Kita tak perlu waktu lama untuk menemukan banyak kecocokan. Kita jadi teman sebangku. Kita sama-sama suka main boneka, suka membaca dan suka bercerita. Aku bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi kalau denganmu aku jadi suka bercerita tentang banyak hal karena kau pendengar yang baik. Sangat menyenangkan bicara denganmu. Kita biasa bercerita tentang komik, film, buku, sekolah, majalah Donal Bebek kesukaan kita, atau tentang hal-hal yang pernah dan ingin kita lakukan.

Kita selalu bersama-sama di sekolah. Jam istirahat adalah waktu favorit kita. Biasanya kita beli jajan di warung pak Mono atau bu Tari. Kadang kita bermain di lapangan belakang sekolah. Lapangan dengan rumput hijau yang luas. Kita sering duduk-duduk di bawah pohon besar di tepi lapangan, sambil makan jajan dan bercerita. Di samping lapangan ada sungai yang airnya masih jernih walaupun kadang ada juga sampah-sampah yang hanyut. Suara aliran airnya terasa mendamaikan.

Ah, betapa menyenangkannya saat-saat itu, Ri! Sekolah jadi tempat yang menyenangkan. Salah satunya karena ada kamu. Itu masa-masa yang bisa dikatakan nyaris tanpa beban.

Kau anak tunggal dan sering merasa senang kalau aku bermain ke rumahmu. Aku pun senang bermain ke rumahmu. Kau punya banyak boneka (salah satunya si Inchi boneka kelinci), buku cerita, majalah dan komik. Aku sering pinjam buku-bukumu itu. Karena sering main ke rumahmu, aku jadi kenal dengan mamamu dan pembantumu. Tapi tidak terlalu kenal dengan papamu. Kelihatannya beliau orang sibuk karena aku jarang bertemu dengannya di rumahmu.

Kau juga sering main ke rumahku. Orang tua kita jadi dekat juga. Mamamu memamnggil guru mengaji yang datang seminggu sekali ke rumahmu. Mamaku minta pada mamamu supaya aku dan kakak bisa ikut kau mengaji di rumahmu. Mamamu tak keberatan. Lalu mamaku mengantarkan aku dan kakak setiap Selasa sore untuk mengaji bersama.

Ibu Halimah, guru mengaji kita, perempuan penyabar berkaca mata. Kita bertiga mengaji bergantian. Jika kakakku sedang mengaji dan kita sedang tidak mendapat giliran, kita akan naik ke atap rumahmu lewat loteng tempat menjemur pakaian. Di sana kita memandang langit senja sambil bergurau dan bercerita. Di atap rumahmu tak ada pohon atau bangunan lebih tinggi yang menghalangi pemandangan langit senja. Kita terus di sana sampai kakak menyusul ke atap dan memanggil aku atau kamu yang mengaji selanjutnya.

Kiranya sejak saat itu aku jadi suka senja. Suka cahaya halus keemasan yang menembus awan, mewarnai langit. Kadang juga ada semburat warna ungu saat senja. Ungu, Ri! Warna kesukaanku. Aku suka memandang senja di tempat-tempat yang tak terhalang pepohonan ataupun bangunan–bangunan buatan manusia, di pantai misalnya.

Apa kau juga masih suka memandang senja, Ri?

2/

Jika kepintaran diukur dari nilai-nilai rapor, aku tak pernah sepintar kau, Ri. Dari dulu kau anak pintar. Selalu menduduki ranking 2 di kelas. Sementara aku, paling cuma masuk sepuluh besar di kelas. Ketika kita “bertemu” di facebook, aku tak heran saat mengetahui sekarang kau kuliah di institut teknik terbaik di negeri ini.

Kau juga kawan yang baik, Ri. Aku ingat bagaimana kau menemaniku di ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) ketika aku sakit. Aku sering sakit-sakitan, dan kau hampir selalu menemaniku di UKS. Kau rela meninggalkan jam pelajaran. Di sana pun kita bercerita tentang ini-itu. Hahaha…sepertinya kita selalu bercerita dimana-mana ya, Ri?

Kau tahu, Ri? Bercerita padamu menjadi sesuatu yang menyenangkan karena kau tak menghakimi apapun yang kuceritakan. Matamu akan sedikit melebar ketika kau agak tidak suka dengan yang kuceritakan. Kau tak pernah menggunakan kata sifat seperti “manja”, “malas”, “bodoh” dan sebagainya untuk menghakimiku. Aku pun paham sebaiknya aku mengganti topik pembicaraan ketika matamu sedikit melebar itu.

Ahai, kau bukan manusai sempurna, RI. Ada kekurangan-kekurangan diluar sisi baikmu itu. Tapi jujur saja, aku sudah tak ingat apa saja kekuranganmu. Kita juga pernah bertengkar. Lagi-lagi aku tidak ingat apa yang dulu membuat kita bertengkar. Yang pasti, persahabatan kita bukan sesuatu yang tanpa cela, walaupun kita selalu berbaikan setelah bertengkar.

3/

Perpisahan adalah ujung dari pertemuan, meskipun kadang tak berarti akhir dari segalanya. Tapi hari perpisahan itu datang juga pada kita, Ri. Kau pindah keluar kota karena dinas papamu dipindahkan ke kota lain. Saat itu kita kelas lima sekolah dasar. Hari kenaikan ke kelas enam juga menjadi hari perpisahan kita.

Aku menangis sesenggukan. Kau tak menangis, berusaha meredakan tangisku. Kau bilang kita masih bisa berkomunikasi lewat telepon atau berkirim surat. Dulu penggunaan internet belum marak seperti sekarang. Kau tahu, Ri? Sekiranya hari itu menjadi hari pertama kalinya dalam hidupku aku merasakan sebuah kehilangan. Aku sedih sekali hari itu.

Setelah kau pindah kita sempat berkirim surat dan saling menelepon untuk beberapa waktu. Tapi komunikasi jarak jauh itu tak berlangsung terlalu lama. Kalau tidak salah, kita sudah tak bertukar kabar lagi saat kelas dua sekolah menengah pertama. Kita larut dalam hidup dan kesibukan masing-masing. Lambat laun aku tak lagi merindukanmu, mungkin kau juga begitu.

Komunikasi terakhir kita cuma lewat facebook, hanya saling mengucapkan selamat hari lahiir.

4/

Sekarang kita sama-sama mahasiswa tingkat akhir, Ri. Aku yakin kau pun merasakan repotnya jadi mahasiswa tingkat akhir. Ri, aku ingin bercerita padamu tentang kerepotan-kerepotan itu. Kerepotan yang kadang “lucu”.

Aku sedang berhadapan denga dua TA, Ri. Tugas Akhir “tuntutan” akademik dan Tanggung jawab Akhir di organisasiku, sebuah lembaga pers mahasiswa tingkat universitas. Sejak dulu aku suka menulis. Itu yang membuatku bergabung dengan pers kampus. Di pers kampus, tanggung jawab yang belum selesai adalah menerbitkan majalah dan menyelesaikan urusanku sebagai pemimpin bidang. TA yang kedua tak kalah beratnya, Ri. Komitmen mendatangkan tanggung jawab.

Tapi aku cuma ingin bercerita tentang TA yang pertama. Yang kedua terlalu rumit dinamikanya untuk diceritakan. Kiranya kurang pantas juga diceritakan di sini.

TA-ku tentang Demam Berdarah Dengue (DBD) pada anak. Sampelnya 134 rekam medis (RM) pasien DBD anak di Kabupaten Bantul. Mengapa Kabupaten Bantul? Karena kasus DBD di Kabupaten Bantul menduduki peringat dua di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). RM itu kuambil dari sebuah rumah sakit umum di Bantul.

Jarak tempat tinggalku jauh sekali dari Bantul. Aku tinggal di Kabupaten Sleman, di Jalan Kaliurang Km 14 tepatnya. Mungkin kau agak sulit membayangkannya. Kau ingat erupsi Merapi November 2010 lalu? Tempat tinggalku termasuk dalam 20 kilometer zona bahaya itu (aku sempat mengungsi saat erupsi). Kau pernah dengar Pantai Parangtritis? Nah, pantai itu bagian dari Kabupaten Bantul. Dari dekat gunung sampai dekat pantai. Bayangkanlah sendiri. Sejauh itulah kiranya tempat tinggalku dari rumah sakit tempat pengambilan RM.

Sudah pasti menempuh perjalanan jauh itu melelahkan. Tapi lelah fisik tak seberapa jika dibandingkan dengan lelah batin. Birokrasinya ruwet ketika mengurus perizinan penelitian. Menemui bapak A, kata bapak A ketemu dulu sama ibu B, ibu B bilang ke bagian X. Ketika perizinan yang berbelit itu akhirnya tuntas, bukan berarti semuanya sudah beres.

Beberapa tulisan di kertas-kertas RM membuatku memuji tulisan anak kelas satu sekolah dasar yang baru belajar menulis. Meskpun tidak semua, tapi sebagian tulisan itu sangat buruk. Coba kau lihat ini, Ri. Ini bukan tullisan, Ri! Ini lebih menyerupai sekumpulan cacing yang kesetanan menari ketika dengar musik hip hop.

Kemudian ada hal lain yang juga “lucu”, Ri. Pada salah satu RM, di halaman pertama tertulis pasien berusia 12 tahun dan masuk rumah sakit (RS) tanggal, bulan dan tahun sekian. Lalu pada halaman kedua, tertulis pasien berusia sembilan tahun, padahal tanggal, bulan dan tahun masuk RS-nya sama dengan yang dituliskan di halaman pertama. Jadi, yang mana yang harus kupercaya, Ri? Lembar pertama atau lembar kedua? Kau bingung, Ri? Sama…hehehehe :D

5/

Aku lelah, Ri. Dua TA itu itu benar-benar gila. Aku sendiri tak tahu apa yang membuatku masih punya kekuatan untuk menjalani keduanya. Walaupun kadang kekuatan itu surut karena beberapa hal. Dan sekarang aku lelah sekali, Ri. Sangat lelah…

Apalagi aku baru menyadari aku melakukan kesalahan di TA yang pertama. Ada salah pengertian antara aku dan dosen pembimbingku. Ternyata dosen pembimbingku menginginkan setiap gejala yang muncul pada pasien dicatat perharinya. Misalkan pada hari pertama masuk RS ada gejala demam, mual, muntah dan sebagainya. Selama ini aku tidak mencatat munculnya gejala perhari. Artinya, catatanku terhadap RM-RM yang kemarin tak lengkap, tidak bisa digunakan. Aku harus memulainya dari nol, Ri…

Friends are power. Tapi tidak semua teman bisa jadi kekuatan, Ri. Apalagi ketika orang yang selama ini kuanggap teman ternyata tidak seperti anggapanku itu. Kecewa sekali rasanya. Lalu ada juga yang ketika kuminta untuk tidak membicarakan TA, dia malah berkomentar “Bolak-balik Bantul ma deket. Aku yang bolak-balik ke luar kota aja biasa aja.” Kesal rasanya dengar komentar macam itu ketika aku sedang tak ingin bicarakan TA. Tahu apa dia soal birokrasi di sana, soal berkendara naik motor dibawah siraman hujan atau terik matahari, soal catatan RM yang sia-sia, tentang kumpulan cacing yang menari di kertas RM, tentang memulai mencatat RM dari nol? Beberapa orang memang cuma bisa jadi komentator yang dangkal, komentataor yang bahkan tak tahu apa-apa tentang yg dikomentarinya.

Akhir-akhir ini aku juga sedang bermasalah dengan orang yang “menghakimiku” tanpa benar-benar mengenalku. Dia mengocehkan hal-hal buruk tentangku di jejaring sosial. Padahal kami tak saling kenal. Lucu, kan? Dia hanya dengar cerita tentangku dari temannya yang mengenalku, lalu merasa berhak menjelek-jelekkanku di jejaring sosial. Sikapnya itu menunjukkan kalau dia sama sekali tak bersikap adil sejak dari pikirannya.

Aku tak suka ribut-ribut dengan orang. Aku mendiamkan ocehan buruknya itu. Tapi satu hal yang perlu dicatat, aku pasti menghardiknya jika dia mengulangi perbuatan itu lagi. Teman-temanku (kali ini mereka yang benar-benar teman) mengajarkanku untuk tidak diam pada orang-orang yang “menekanku”. Dan mereka benar, ada saatnya kita harus melawan.

Satu lagi, Ri. Ada orang-orang yang membicarakanku di belakang. Mereka “main belakang” tentang dua tanggung jawab yang tak bisa kuceritakan secara detail di sini. Aku tak suka dibicarakan di belakang, Ri. Aku lebih terima orang bicara di depanku. Seburuk apapun itu, rasanya jauh lebih baik daripada dibicarakan di belakang. Apalagi bukan cuma satu orang yang begitu. Seperti diserang dua sisi dari belakang.

Aku semakin lelah, Ri…

6/

Kadang terdengar samar, kadang sangat jelas

dan suara itu terus bergaung

Namun suara hanyalah gelombang

sedangkan jarak ialah sesuatu yang rumit.

Jarak selalu ada tanpa perlu dicipta

Ia bisa membentang lebih lebar dari jurang manapun

Lalu waktu adalah arsitek

yang gagal membangun jembatan penghubung

7/

Aku tidak sedang ingin mengeluh, Ri. Aku hanya menuliskan semuanya supaya aku lebih mudah memahami dan memaknai keruwetan itu. Kadang menulis itu seperti mengurai benang kusut, beberapa hal jadi lebih mudah dimengerti jika sudah dituliskan. Karena tulisan bisa dibaca ulang. Sementara obrolan dengan orang tak bisa diputar ulang kecuali kau merekamnya. Sedangkan aku bukan orang yang suka mendengarkan rekaman percakapan, perlu mencerna ulang dialog-dialog yang sudah diucapkan. Tidak praktis dan makin tidak nyaman jika kualitas recordernya buruk.

Hidup kita tidak hanya hari ini, Ri. Kukira itu alasan yang membuat kita harus belajar setiap harinya. Semua yang kuceritakan itu kuanggap sebagai pelajaran tentang kesabaran. Aku tak usah menangis lagi, tak perlu juga mengharapkan orang lain akan menjadi sangat mengerti. Yang penting aku berusaha menyelesaikan semuanya semampuku, sebaik yang bias kulakukan. Itu saja…

Menurutku kita akan menjadi manusia yang lebih baik jika kita terus belajar. Seperti yang kubilang tadi, belajar memahami dan memaknai hidup ini. Semua perlu dipahami dan dimaknai karena Tuhan bicara dalam metafora, Ri. Mungkin itu satu-satunya bahasa-Nya.

Bisa saja sekarang aku berpendapat bahwa masa kecil adalah masa-masa paling bahagia, nyaris tanpa beban. Tapi boleh jadi dua puluh tahun lagi aku akan berpendapat bahwa masa-masa sebagai mahasiswa adalah masa paling bahagia. Who knows? Maka dari itu, aku harus mensyukuri (dan menikmati) semua ini, termasuk dua TA itu. Karena masa-masa ini tak akan terulang lagi…

8/

Mungkin suatu hari nanti ita akan bertemu lagi, Ri. Tapi mungkin juga tidak. Terima kasih, Ri. Terima kasih pernah mewarnai masa kecilku dengan warna ungu. Warna yang kusuka…




Tidak ada komentar:

Posting Komentar