Selasa, 28 September 2010

Ruang dan Waktu yang Bertengkar

Ruang dan waktu bertengkar di meja makan. Pertengkaran mereka melahirkan kekacauan dalam rupa piring-piring pecah dan meja-kursi yang terjungkal. Lucu sekali, padahal meja makan merupakan bagian dari ruang dan waktu. Kepingan puzzle kehidupan manusia tak bisa lepas dari meja makan, karena manusia pasti makan. Banyak peristiwa terekam di sana. Sebagian kehidupan manusia bisa terlukis jika rekaman-rekaman tadi disatukan.

Pusing sedang bermain-main dengan kepalaku. Aku kira malam itu akan sama seperti malam-malam yang lain. Aku memasuki rumah makan Padang dan menuju meja bulat tempat aku dan teman-temanku biasa makan. Kami selalu makan malam di sini dan selalu duduk di meja bulat bertaplak putih dekat jendela. Lokasi meja itu berada di sudut ruangan. Teman-temanku sudah duduk mengelilingi meja ketika aku datang. Mereka selalu duduk di tempat yang sama. Aku berharap pusing akan pergi setelah aku makan. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku bertekad menghabiskan makan malamku.


Jendela dan Segelas Soda

Pensil HB dan 4B pada kertas A4


Rumah makan ini sedang ramai pengunjung. Semua meja penuh oleh orang-orang yang makan sambil mengobrol. Sebagian besar makan dengan tangan, tidak pakai sendok.

Lalu semua ini terjadi pada malam yang biasa, ketika kami berenam, eh berdelapan, bukan berdelapan, tapi bertujuh (ah sudahlah, ada kalanya jumlah tak begitu penting) sedang makan. Kali ini kami hanya makan sepiring nasi tanpa lauk apapun. Suara sendok, garpu dan piring yang beradu benar-benar gaduh. Nyaring seperti kekesalan di hati kami yang tak semuanya bisa terungkap. Hanya sebagian kecil yang muncul dan terucap oleh bibir. Ada yang tak terucap karena merasa sungkan, ada juga yang terlalu menyakitkan jika dikatakan. Tetapi sebagian besar tertahan karena lidah memang tidak cukup untuk mewakili hati.

Nasi putihnya hambar. Kami tak merasakan rasa nasi. Seolah ada yang mencabut saraf-saraf sensorik pengecap di lidah. Hati kami yang merasa. Rasanya selalu berubah-ubah di setiap suapan. Rasanya bukan asin atau pahit. Ada suapan yang terasa sangat perih seperti dicabik-cabik. Aku mati-matian menahan air mata yang sudah hendak mengalir. Sakitnya luar biasa! Namun ada yang terasa amat melegakan, dan pada suapan yang lain hati ini rasanya melayang bahagia.

Menu makan malam ini sungguh aneh. Tak bisa diprediksi rasa apa yang muncul pada setiap suapan nasi. Hahaha….sungguh misterius. Serupa kehidupan yang serba tak terduga.

Tapi mengapa rasa nasi putih jadi seperti ini?

Kami membisu dengan ganjil di meja makan. Semua makan tanpa bicara. Dalam kebisuan, merasakan rasa yang berganti-ganti di hati. Lalu Joni mengawali percakapan. “Mungkin sekarang Karin nggak bisa, tapi Karin harus biasa. Karin mengerti, kan?” Ahai, lagi-lagi ia mengulangi nasihat itu padaku. Nasihat yang selalu ia ucapkan ketika aku akan memulai pekerjaan baru setelah makan malam. Joni selalu menganggapku anak kecil! Tentu saja aku mengerti. Analoginya seperti belajar memasak. Jika setiap hari aku terbiasa berada di dapur, menjalankan perintah ini-itu dari si koki diktator, suatu saat aku pasti bisa memasak. Joni tak percaya aku bisa menyelesaikan pekerjaan baruku sebagai kuli tinta. Sangat meremehkan!

Selain telingaku, tak ada yang hirau dengan perkataan Joni. Semuanya sibuk makan. Tiba-tiba jari telunjuk Sani berdarah. Ia menggenggam sendok terlalu kuat. Rupanya bukan hanya jari Sani yang berdarah, jariku juga. Lalu kulihat darah sudah mengalir dari seluruh jari kami. Toni menekan ujung kelingkingnya lalu menjilat darah yang mengalir dari luka itu. Nia mulai menangis tersedu. “Sudah jangan panik!” Joni berteriak gusar. Jika sudah berteriak macam begitu, kami semua tahu sebentar lagi Joni akan mulai bermonolog.

“Sudah lah, tidak apa-apa. Kita tumbuh dewasa di meja makan. Tak perlu takut berdarah untuk meja bulat ini. Bahakan jika meja ini membutuhkan darah, kita harus berdarah-darah untuknya. Berdarah-darah untuk tempat yang mendidik dan mendewasakan kita. Kita bukan siapa-siapa sebelum berada di meja ini. Setiap hari kita makan bersama. Berbincang dan bertengkar sambil makan. Dinamika meja ini telah mengajari kita arti kedewasaan.

Kalian tahu? Darah sangat berarti bagi orang Afganistan. Siapa ayah-ibumu dan darah siapa yang mengalir di tubuhmu amat penting. Darah itu menunjukkan asal-usulmu, siapa leluhurmu, dan apa yang telah diperbuat oleh leluhurmu.

Tapi hal itu tak penting bagiku. Menurutku keluarga tak terbatas pada darah. Selama kita saling menjaga dan menyayangi, maka kita adalah keluarga. Tak perlu tautan darah untuk menjadi sebuah keluarga. Dan meja makan ini telah menjadikan kita keluarga tanpa mengikat darah.

Aku yakin kalian pun mengerti. Untuk bisa tetap hidup, manusia butuh darah mengaliri pipa-pipa pembuluh darahnya. Kalian tidak perlu takut pada darah, termasuk darah yang keluar dari telapak tangan kalian itu.”

Lalu kami terdiam lagi. Semua meresapi perkataan Joni sambil kembali makan. Darah masih mengalir dari jari-jari. Apa benar meja ini yang mendewasakan kami? Aku tak berani berani menjawab pertanyaanku sendiri. Mungkin saja meja ini telah mendidikku dengan sangat halus. Begitu halus sampai aku tak merasa sedang dididik.

Aneh, nasinya tak kunjung habis, seperti tak akan pernah habis-habis. Kekesalan pun masih ngendon di hati kami. Aku jadi mengasihani hati kami. Selain mengecap rasa-rasa aneh dari tiap suapan nasi, masih juga jadi tempat bersarangnya kekesalan. Ah, kami menyiksa hati sendiri.

Mendadak kami berhenti makan secara serempak, seolah ada yang memerintah kami. Kemudian kami saling pandang. Tatapan penuh kemarahan menghiasi mata kami. Rupanya sekarang kami bertengkar dalam bahasa diam. Mungkin pertengkaran ini akibat akumulasi kekesalan. Tapi tak ada yang menyuarakan kemarahan lewat kata-kata. Setiap tatapan itu begitu mengerikan. Lebih mengerikan dari mata srigala lapar. Keheningan yang lebih ganjil membayangi kami. Masing-masing membisu, mewakilkan kemarahannya pada bahasa diam dan tatapan mata yang mengancam. Apa yang terjadi jika bahasa diam sudah menyerah mewakili kemarahan-kemarahan kami? Apa kami akan saling menikam?

Dalam sekejap mata, dengan sekuat tenaga Sani melemparkan piringnya ke tengah meja. Suara piring pecah menggema di rumah makan mungil ini. Selain Joni, yang lain pun melakukan hal yang sama, aku juga melempar piringku ke tengah meja. Para pengunjung lari kocar-kacir mendengar keributan dari meja kami. Teriakan panik yang melengking mengiringi derap langkah kaki. Atmosfir panik dan takut membuat hatiku ingin memuntahkan rasa-rasa yang tadi dijejalkan. Hanya dalam hitungan detik ruangan ini telah ditinggalkan. Hanya kami yang masih duduk di tempat. Duduk diam dengan kepala tertunduk, dalam perasaan campur aduk yang tidak enak.

Jadi ini lah jawabannya. Luapan rasa marah telah pecah. Pecahannya berserakan di lantai dan di meja, serupa pecahan piring-piring kami. Tapi sebesar apapun kemarahan itu, kami tak sanggup saling menyakiti. Tak ada yang melempar piring ke kepala kawannya. Tak akan pernah ada yang saling menikam.

Sekarang aku sadar, bukan ruang dan waktu yang bertengkar di meja makan. Kami lah yang bertengkar. Kami hanya sekolompok anak berusia dua puluhan awal yang sedang belajar arti kedewasaan, tapi tak seorang pun dari kami telah benar-benar dewasa. Jika kami sudah dewasa, kami tak akan berkomunikasi dengan cara seburuk ini.

Pertengkaran sangat lumrah dalam setiap keluarga. Semua keluarga pasti begitu, bertengkar lalu berbaikan sebelum memulai pertengkaran-pertengkaran selanjutnya. Namun apa yang kami lakukan sangat berbahaya. Memendam kekesalan dan amarah sama seperti menghidangkan bom waktu di meja makan. Celakanya, tak seorang pun tahu kapan bomnya meledak.

Semoga kelak kami menyadari betapa berbahayanya pola komunikasi kami. Mudah-mudahan kami mengerti sebelum ruang dan waktu benar-benar bertengkar di meja makan. Karena jika ruang dan waktu bertengkar, pertemgkarannya akan menimbulkan kekacauan yang lebih hebat daripada ini. Mungkin ruang dan waktu akan tega saling tikam.

***

Seorang pelayan laki-laki berpakaian serba hitam berjalan mendekati meja. Ia membawa gelas-gelas berisi minuman bersoda, lalu meletakkannya di hadapan kami. Seperti apa rasanya minuman bersoda ini? Dan pusing semakin betah bertengger di kepalaku…

Rabu, 01 September 2010

Yang Berpeluh pada Penghujung Subuh

Ketika nadi kehidupan seolah belum berdetak di Universitas Islam Indonesia (UII), mereka sudah lebih dulu bergerak.

Belum genap jam enam, udara dingin masih merajam. Boulevard UII tampak lengang, hanya terdapat dua orang pria paruh baya sedang lari pagi. Lampu penerang jalan masih menyala di sepanjang boulevard. Bulan separuh pun masih menggantung di langit yang perlahan mulai terang.

Suara sapu lidi yang bergesekkan dengan trotoar memecah keheningan. Seorang pemuda mengenakan kaus ungu tua, celana jins dan kaki yang beralaskan sandal jepit biru menyapu dengan sapu lidi bergagang panjang. Tubuhnya kurus dengan tinggi sekira 170 sentimeter. Ia adalah Syarif, satu dari 14 karyawan yang bertugas menjaga kebersihan lingkungan di luar gedung-gedung UII.

Meskipun jam kerjanya mulai pukul tujuh, setiap hari Syarif berangkat sekitar jam 05.45 WIB. “Berangkat awal biar bisa istirahat lebih gasik,” kata Syarif sambil tertawa. Statusnya masih karyawan kontrak. Syarif sudah bekerja selama kurang lebih tujuh tahun di UII. Setiap pagi ia menyapu area samping Masjid Ulil Albab, termasuk di depan tempat penemuan Candi Pustakasala yang sempat menghebohkan beberapa waktu lalu. Siangnya ia akan sibuk merawat taman, kebun dan selokan hingga jam kerja berakhir pada pukul empat sore.

Salah seorang pekerja kebersihan sedang menyapu di boulevard UII

Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakart Nomor 217/KEP/2009, Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 sebesar Rp 745.694. Jika kelayakan upah diukur berdasarkan upah minimum itu, penghasilan Syarif sudah mendekatinya. Sejak tiga tahun yang lalu, penghasilan bersihnya 28.000 rupiah perhari. Setelah sebelumnya mengalami kenaikan dari 15.000 dan 18.000 per hari.

UII menggunakan nama Pesona Ta’aruf (Pesta) untuk menamai kegiatan orientasi pengenalan kampus kepada mahaisswaa baru. Setiap kali Pesta diselenggarakan, pekerjaan Syarif dan kawan-kawannya menjadi berlipat. Saat Pesta selalu ada banyak sekali sampah. “Tapi bayaran untuk membersihkan tidak ditambah. Panitia mahasiswa itu nggak tahu kalau kita yang membersihkan. Istilahnya nggak ada komunikasi. Mereka nggak memberikan uang tambahan,” kata pria berusia 28 tahun itu.

***

Sudah Sembilan bulan Waluyo menjalani pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan Syarif. Hanya saja ia membersihkan lingkungan dalam wilayah yang lebih sempit. Dia dan 11 orang lainnya bertanggung jawab terhadap kebersihan area sekitar gedung Fakultas Kedokteran. Jam kerjanya pun sama, dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore.

Waluyo sedang menyapu area parkir Fakultas Kedokteran. Kaus berkerah warna biru membalut tubuhnya yang tampak berisi. Celana panjang coklat yang dia kenakan hampir sewarna dengan daun-daun kering yang ia sapu. Dia mengumpulkan sampah daun kering dalam gundukan-gundukan kecil. Pada musim kemarau sampah daun kering akan dibakar, sedang pada musin hujan sampah itu akan ditimbun. Setelah selesai menyapu, Waluyo akan merawat taman-taman di Fakultas Kedokteran.

Dalam hal penghasilan, Waluyo tidak seberuntung Syarif. Gajinya 350.000 per bulan, jauh dibawah ketentuan upah minimum. Gaji itu bukan berasal dari UII. “Yang menggaji kami bukan UII, tetapi CV Wijaya Kusuma. Saya dan kawan-kawan kerja pada CV Wijaya Kusuma. Fakultas Kedokteran UII bekerja sama dengan CV Wijaya Kusuma. CV ini lah yang bertanggung jawab terhadap kebersihan di luar gedung Fakultas Kedokteran,” katanya

Upah yang minim tidak membuatnya menyerah dan bergantung pada belas kasihan. Sebuah upaya dia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Ia membuka warung kelontong di rumah, warung yang dia kelola bersama dengan istri.

Kedua tangan Waluyo menyapu daun-daun kering dengan sigap. Sesekali ia merapikan ikatan lidi pada sapunya. Titik-titik keringat mulai bermunculan di dahi Waluyo. Tak satu pun keluhan terucap selama ia menyapu. Seolah Waluyo ingin menunjukkan bahwa dibalik pekerjaannya ada kekuatan yang jauh dari keputusasaan.

Beberapa mobil dan motor mulai berlalu-lalang di boulevard pada pukul tujuh. Sebagian besar boulevard sudah bersih dari sampah. Tentu saja, ini berkat para pekerja yang sudah bergerak sejak penghujung subuh.


Foto oleh Akhmad Ikhwan fauzi