Jumat, 10 Juni 2011

Hey, Jumat!

Jumat datang terlalu cepat. Tidak, mungkin tidak terlalu cepat, tapi aku yang lambat. Aku sudah mengantuk, tapi mencoba tetap terjaga dengan mata yang selebar selat. Tuhan, andai saja manusia tidak butuh tidur!

Jika waktu adalah kereta yang melewati sebuah stasiun, aku ingin ia singgah sejenak di stasiun itu. Ayolah waktu, apa kamu tidak lelah berlari di rel yang sunyi? Rehat lah sesekali. Membekulah sejenak. Lalu aku akan mencuri peluang ketika kamu berhenti, aku ingin memikirkan hal lain selain deadline. Boleh, kan?

Aku ingin melemparkan imajinasiku ke kota-kota di pantai utara Jawa. Ke kota yang dituju oleh seseorang tadi. Kubayangkan dia duduk di dalam bis berpendingin udara. Mungkin sedikit tersiksa karena tidak bisa merokok. Dalam perjalanan dia membaca buku untuk mengusir kebosanan akan rutinitas jalan pulang. Lalu sesekali dia memandang jalanan dari balik jendela bis. Mengamati adakah yang berbeda dari jalanan yang selalu dilalui ketika pulang.

Yang kutahu dan yang kuingat, jalan di pantai utara Jawa itu berkelok dan beberapa berupa jalan yang naik turun. Mungkin jalan ke kotanya juga seperti itu. Kemudian dia merasa lega saat sampai di kota kelahiran. Bisa melepas rindu pada rumah, keluarga dan kawan. Untuk sementara ia juga dapat meninggalkan urusan-urusan di kota pelajar yang kadang membuatnya kesal.

Di kota kelahiran semua terasa lebih menenangkan. Ia melepas rindu pada kawan-kawannya sambil minum minuman berkafein. Di atasnya, bintang dan langit malam sedang karib berteman. Segalanya selalu lebih terang ketika semua disentuh oleh persahabatan.

"Langit di sini banyak bintang, Sayang. Kelak kau haru tahu langit di sini."

Sementara itu, aku tidak sempat berlama-lama memandang langit dari pintu rumahku. Waktu adalah kereta yang tak ingin berhenti di stasiun manapun. Ah, aku seperti siput lambat yang tak mampu mengejar kereta berkelebat.

Seorang teman pernah bilang, jika kita bisa keras pada diri sendiri, hidup tak akan terasa keras lagi bagi kita. Kukra aku sedang mencoba keras pada diriku. Coba memotong kebiasaan banyak tidur dan bermalas-malasan. Tapi rasanya agak ekstrim, aku bekerja sampai lupa makan. Pekerjaan menyatukan fragmen-fragmen fakta menjadi tulisan panjang dan mendalam ternyata tidak mudah. Pagi nanti aku harus makan. Kiranya besok tak akan lupa makan lagi sebab rasa lapar sudah menekan. Beruntung roti coklat dan biskuit memberi sebuah penyelamatan.

Hey, Jumat! Kamu datang terlalu cepat. Kali lain, jangan membuat waktu terlalu merapat. Apa kamu sepakat?

Rabu, 01 Juni 2011

Percakapan-Percakapan yang Disaksikan Malam


Matahari, Bintang, Bulan.
gambar yang dibuat dengan buru-buru sebelum berangkat rapat =)


Malam adalah waktu sekaligus ruang pertemuan bagi kita. Meskipun kali pertama kita bertemu bukanlah saat malam. Kala itu siang menjelang sore yang mendung, dan akhirnya hujan turun. Kamu sudah berlalu pulang. Aku menunggu hujan reda bersama kawan-kawanku. Bagiku itu adalah pertemuan yang sama biasanya dengan pertemuan-pertemuan lain. Ketika itu aku belum tahu kalau beberapa bulan kemudian kamu sama sekali bukan orang biasa lagi buatku.


Eh, apa kamu sudah tahu? Malam punya sepasang mata dan telinga. Ia menyaksikan dan mendengarkan semua percakapan kita. Dia juga membaca pesan singkat-pesan singkat yang kita kirimkan. Malam mengamati kita dengan teliti. Ya, kita. Sepasang kekasih yang kerap meminjam malam untuk bisa bertemu, untuk bisa bercerita. Kamu percaya itu? Percaya kalau malam punya mata dan telinga?

Aku sering minta tolong pada malam. Ah, bukan sering, tapi hampir selalu. Aku minta tolong pada malam supaya ia menjagamu yang sedang lelap. Minimal menjagamu dari mimpi buruk. Kamu sering risau kalau habis mimpi buruk, aku tak ingin itu. Aku ingin kamu selalu baik-baik saja. Kalau kamu baru tidur di pagi hari, aku berpesan pada malam supaya tugas jaganya diestafetkan pada pagi.

Entah itu pagi, siang, senja atau malam, aku ingin kamu selalu baik-baik saja.

Sering sekali pertemuan kita terjadi di malam hari. Aku tak akan lupa pertemuan kedua kita. Beberapa hari sebelumnya kamu bertanya tentang sebuah penyakit. Aku mempelajari ulang tentang penyakit itu supaya bisa menjawab dengan pasti dan tidak menyesatkan. Saat bertemu kamu, kubawa dua buku tebal ; atlas anatomi dan buku ajar ilmu bedah. Aku bawa buku untuk mempermudah menjelaskan padamu perihal penyakit itu. Gambar dan ilustrasi di buku sangat mempermudah penjelasanku. Sepertinya kamu memahami penjelasanku. Buku-buku tebal itu sungguh berguna !

Setelah pertemuan itu, aku menyimpulkan kamu orang yang menyenangkan. Saat itu aku mengira kita bisa jadi teman baik. Tapi ternyata aku keliru, kita menjadi lebih dari itu, lebih dari teman baik.

Kalau kita telah menjadi lebih dari sekedar teman baik, artinya kita harus selalu baik-baik saja, kan? Itu yang selalu kuinginkan, kita selalu baik-baik.

Lalu malam yang itu, malam yang meninggalkan jejak permanen di ingatanku. Kita duduk di tikar pandan, aku minum jus apel dan kamu minum kopi. Langit malam yang cerah menaungi kita. Akhirnya kamu bilang padaku kalau kamu tidak mau kehilangan aku. Aku percaya kata-katamu. Kenapa aku percaya? I don't know. It's suppose to be. Aku juga tidak ingin kehilangan kamu. lalu kamu menggenggam tanganku. Itu kali pertama kamu genggam tanganku.

Dan tiba-tiba aku merasa langit malam jadi lebih cerah. Apa itu cuma perasaanku saja? Apa kamu juga merasa begitu? Atau itu cuma perasaan kita? Apa semua orang yang sedang jatuh cinta selalu merasa begitu?

Hari terus berganti. Pastinya malam pun ikut berganti seiring dengan pergantian hari. Masalah juga mengikuti pergantian yang serupa siklus itu.

Malam. Lagi-lagi malam. Aku menerobos hujan menuju ke tempatmu. Kita sama-sama tahu pikiranku sedang tak enak. Aku tidak tahu apa yang membuatku sangat ingin bertemu denganmu, sampai tidak menghiraukan hujan. Mungkin karena cuma kamu yang menghuni pikiranku.

Kamu mengambil gitarmu, menyanyi dengan malu-malu. Lagu yang kamu nyanyikan sering tidak selesai. Kadang kamu tertawa kecil sambil sedikit menunduk. Kamu bilang kamu malu bernyanyi di depanku.

Aku pernah bilang, aku suka melihatmu tertawa. Tidak tahu kenapa. Kukira seperti kata penggalan lirik lagu yang kamu nyanyikan itu, "...bila engkau tertawa hilang semua duka..." Bisa jadi itu yang membuatku senang melihat kamu tertawa...

Malam yang lain (ya, malam lagi) kita pergi ke pantai. Saat itu sedang ada banyak sekali bintang di langit malam. Kita duduk di pasir, mengobrol dengan tangan yang saling menggenggam. Sesekali aku menyandarkan kepala di bahumu. Kamu benar, malam itu aku manja sekali, tidak seperti biasanya. Secara tidak terduga kita melihat bintang jatuh. Kamu lihat lima, aku cuma lihat satu. Malam itu manis sekali ya?

Beberapa hari kemudian kamu membuat tulisan tentang malam itu dan bintang jatuhnya. Aku senang sekali. Kamu tahu? Sangat berharga bagiku memiliki seseorang yang menulis untukku.

Tapi tiba-tiba aku jadi egois. Aku ingin kesepuluh jarimu hanya menulis untukku, hanya memainkan gitar untukku, tidak untuk perempuan lain. Tapi bolehlah kalau untuk ibumu, perempuan yang sangat kamu sayangi itu (dan aku ingin bisa ikut menyayanginya kelak). Tidak salah kan kalau aku egois begini? Seperti yang pernah kubilang (dan kamu menyepakatinya), kita sama-sama pencemburu kelas berat. Tidak boleh ada orang lain diantara kita. Kamu sudah mendidikku tentang itu, dan aku sudah sangat paham sejak saat itu.

Ahay, tapi kita harus realistis memandang hidup ini. Tak selamanya ada kupu-kupu cantik beterbangan di sekeliling kita. Kita pasti juga merasakan berada diantara banyak gagak yang hilir mudik. Hal-hal buruk pasti juga akan kita temui, sama halnya dengan hal-hal baik. Yang penting bagaimana kita bisa mengatasi itu. Cinta selalu menuntut kata percaya, kan? Aku percaya padamu, percaya bahwa apapun yang akan lewat nanti, pasti bisa kita hadapi sama-sama...

Seperti yang kubilang tadi, malam punya telinga dan mata. Dia menyaksikan semua percakapan kita. Aku yakin malam pun sedang menyaksikanku menulis tulisan ini. Kamu percaya tidak kalau malam menyaksikan kita? Kalau aku, aku percaya itu. Karena merasa malam sedang mengawasiku, itu lah yang membuatku lebih sering merindukanmu saat malam.

Malam yang sedang mengawasi itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang membuat malam bermakna lebih dari sekedar bentangan warna hitam di langit. Kamu tidak perlu bertanya siapa orang itu. Sudah pasti orang itu adalah kamu, kamu yang kucintai dengan sederhana...