Rabu, 23 Juni 2010

Jejak-Jejak Pengabdian

Saya kuliah di fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Sudah menginjak semester enam sekarang. Banyak hal bisa saya ceritakan tentang kampus dan kehidupan saya sebagai mahasiswa. Salah satunya tentang dosen.

Cerita tentang dosen dapat menjurus ke berbagai arah. Mulai dari dosen yang killer, ganteng, baik hati, murah nilai dan sebagainya. Tetapi cerita tentang dosen Ilmu Kedokteran Jiwa di kampus saya agaknya lain dan mungkin bukan sesuatu yang biasa terjadi.

Salah satu kegiatan belajar-mengajar di kampus saya adalah kuliah pakar. Disebut kuliah pakar karena pemberi materi kuliah adalah seorang pakar yang ahli di bidangnya. Dosen yang mengajar sangat beragam latar belakangnya. Mulai dari profesor, dokter spesialis, sampai master psikologi.

Sselasa, 8 Juni 2010 saya mengikuti kuliah pakar Ilmu Kedokteran Jiwa. Topiknya tentang kesehatan jiwa pada orang usia lanjut. Dokter Prajitno Siswowijoto, seorang dokter spesialis jiwa yang mengisi kuliah pakar siang itu. Ia juga menjabat sebagai kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa di fakultas saya. Yang menarik, usianya 79 tahun, hampir kepala delapan!



Tak dapat dipungkiri bahwa usia membatasi aktifitas manusia, terutama usia tua. Suara dokter Prajit serak saat bicara, hal yang lumrah pada usia lanjut. Namun, semangat mengajarnya tak kalah dengan yang lebih muda. Selama sekitar satu jam lebih dokter Prajit mengajar sambil berdiri di dekat meja dosen. Tangan kanannya menggenggam erat microphone. Sesekali ia mengacungkan tangan kirinya ketika berbicara. Gaya itu mengingatkan saya pada Bung Tomo ketika berteriak ”merdeka atau mati” saat mengobarkan semangat rakyat Surabaya pada peristiwa 10 November, kejadian bersejarah yang kini diperingati sebagai hari pahlawan.

Badannya kurus dengan tinggi sekira 160 senti meter. Punggungnya sedikit bungkuk. Kult sawo matang yang membungkus tubuhnya telah keriput di banyak tempat. Kesan Islami terpancar dari penampilannya : kopiah hitam, baju koko lengan panjang warna coklat muda, celana panjang putih. Rambut tipis beruban tampak menyembul dari bagian kepala yang tidak tertutup kopiah. Kumisnya yang keabuan terlihst senada dengan warna rambut berubannya.

”Sholat itu ndak boleh ditinggalkan,” kata dokter Prajit. Ia sering menyelipkan ajaran-ajaran Islam di sela-sela penyampaian materi. Orang tua biasanya suka menasihati anak-anak muda, dokter Prajit pun begitu. Ia menasihati mahasiswanya untuk rajin belajar.

Sesekali senyum ompong terukir di wajahnya ketika ia mencoba bercanda dengan mahasiswa, walaupun tak banyak mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Dari sekira 200 mahasiswa yang mengambil blok Kesehatan Usia Lanjut, hanya sekitar 50 mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Sudah tentu ruang kelas berkapasitas sekira 260 mahasiswa dengan model susunan kursi seperti gedung teater tampak lengang.

Kuliah dokter Prajit sepertinya tidak populer di kalangan mahasiswa. Maklum, ia tidak pernah menggunakan slide presentasi dalam mengajar. Dia hanya membagikan hand out sebelum memulai kuliah. Hand out-nya kadang diketik dengan mesin tik, bukan dengan komputer. Ditambah lagi suara seraknya yang terkadang sulit dipahami membuat mahasiswa berpikir ulang sebelum menghadiri kuliahnya.

Saya pernah berpapasan dengan dokter Prajit di tempat parkir. Saya takjub melihatnya menyetir sendiri mobil sedan toyota hijau yang tampak sudah berumur. Menurut penuturan seorang teman yang bernama Hilmi, dokter Prajit membeli mobil itu dengan penghasilannya tidak lama setelah ia menjadi dokter. Tapi Hilmi tak tahu pasti tahun berapa dokter Prajit membeli mobilnya. Sepertinya bagi dokter Prajit mobil itu punya arti yang tak ternilai.

Saya yakin dokter Prajit bukan orang yang berkekurangan. Menurut pengakuannya ia pernah menjabat sebagai kepala rumah sakit jiwa. Sudah tentu, uang bukan tujuan utama untuk tetap mengajar di usia senjanya. Saya kira, keinginan mengabdi pada dunia pendidikan kedokteran yang membuatnya masih bertahan mengajar.

Ketika usia tua tak menghentikan seseorang untuk terus mengabdi, ada kah pengabdian itu mengenal batas? Apakah ia mengenal kata ”cukup”?

Sabtu, 12 Juni 2010

Dialog-dialog

Selalu terjadi dialog-dialog, baik yang imajiner maupun yang nyata. Dialog yang terus terjadi, hingga terkadang kau tak bisa membedakan lagi mana yang nyata, mana yang bisikan hatimu, atau yang sepenuhnya imajiner. Namun, semuanya melebur di dalam satu kotak kenangan. Kau tak akan pernah melupakannya walau waktu coba mengaburkannya.

"Kamu seperti bukan Tika yang aku kenal."
"Maksudmu?"
"Kamu bukan Tika yang pendamai lagi."
"Ya, mungkin benar"
"Kenapa?"
"Saya mulai berpikir, saya harus belajar untuk membela dan menjaga diri sendiri. Karena dalam hidup ini tak selamanya ada orang-orang yang akan selalu menjaga saya."
"Kamu berubah!!"
"Apakah itu salah?"
Tak ada jawaban lagi setelah pertanyaan itu....

Kadang perkataan sekasar apapun jauh lebih baik daripada ini. Sungguh, saya benci jika kamu mulai diam dan menggantungkan dialog-dialog yang terucap...