Sabtu, 17 September 2011

Setelah Lima Tahun

Pasca gempa tahun 2006, sejumlah orang menjadi penyandang cacat di Kabupaten Bantul.

Selasa, 13 September 2011

Sekitar jam tujuh pagi Ika memanggilku dari luar kamar. Dia teman sekos sekaligus teman seangkatan di fakultas kedokteran. Aku sudah bangun sejak tadi, tapi masih malas beranjak dari kasur. Kepalaku sedikit pusing karena semalam aku sulit tidur lagi. Akhir-akhir ini aku memang sulit tidur. Sedang "galau".

Mendengar namaku dipanggil lebih dari sekali, aku pun bergegas bangkit dari kasur dan membuka pintu kamar. Ika masuk ke kamarku dan bertanya apa aku ada acara hari ini. Dia minta ditemani ambil data untuk tugas akhir. Tugas akhir Ika tentang orang-orang penyandang cacat, atau yang biasa disebut difabel. Aku tidak menanyakan detail tugas akhirnya. Yang kutangkap dari penjelasan Ika, dia minta ditemani ke acara syawalan sebuah kelompok difabel di kantor LSM Sapda (Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak). Kantor Sapda berada di Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Aku bersedia menemani Ika. Aku pun segera mandi dan bersiap pergi.

Usai sarapan bersama, kami berangkat jam setengah sembilan. Singkat cerita, ternyata acara syawalan tidak diadakan di kantor Sapda. Syawalan diadakan di rumah salah seorang difabel di Jetis, Bantul. Kami pun berangkat mengikuti mas Miko dan mbak Juju (mereka pegiat di Sapda) ke Jetis.

Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh. Panas matahari terasa menyengat. Tapi, naik motor dibawah terik matahari jauh lebih baik daripada kehujanan. Akhirnya kami sampai di sebuah desa. Jalan desa yang kecil mengingatkanku pada jalan ke rumah nenek di Secang, Magelang. Mirip juga dengan jalan desa di rumah mama di Madiun. Feel like home. Tak lama kemudian, kami sampai di rumah yang menjadi tempat acara syawalan.

Ada jalan dari plester semen yang menghubungkan teras rumah dengan jalan desa. Jalan plester semen itu untuk memudahkan pengguna kursi roda. Teras rumah itu berlantai keramik warna oranye. Di rumah sudah ada sekitar 20an orang, sebagian besar perempuan paruh baya. Semua duduk lesehan di atas tikar. Ada yang duduk di dalam rumah dan ada yang di teras. Ibu-ibu yang berkursi roda duduk di teras. Rumah itu milik mbak Yuni. Ia salah satu dari perempuan yang duduk di kursi roda.

Seorang kyai berceramah dengan Bahasa Jawa dalam acara syawalan. Ada juga sambutan-sambutan dan acara ramah tamah. Disela-sela sambutan, Ika menunjukkan kuesioner penelitiannya. Dia bilang, sebagian kuesioner yang sudah diisi tidak menuliskan waktu timbulnya penyakit. Oleh karena itu, dia bermaksud mewawancari ibu-ibu difabel secara langsung. Tentunya, wawancara disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Aku menyanggupi bantu Ika mewawancarai ibu-ibu usai syawalan.

Setelah acara usai, mas Miko memperkenalkan kami sebagai mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan penelitian. Ibu-ibu itu sangat ramah pada kami. Mereka tidak keberatan diwawancarai.

Seorang ibu yang kuwawancarai mengeluhkan kakinya sering nyeri jika kedinginan. Ia pun menunjukkan kakinya yang juga sering bengkak. Aku memeriksa kakinya. Karena bengkak, kaki kanan tampak lebih besar daripada kaki kiri. Kakinya lumpuh akibat patah tulang belakang saat gempa 2006. Ia menggunakan kursi roda untuk menunjang aktifitas sehari-harinya.

Aku memeriksa kaki ibu paruh baya yang lain. Ia juga menggunakan kursi roda. Penyebab lumpuhnya sama : patah tulang belakang waktu gempa. Tubuhnya kurus dan kulihat kakinya mengecil, sudah atrofi (penyusutan jaringan atau organ karena tidak digunakan dalam jangka waktu lama).

Aku sempat melihat Ika mewawancarai ibu yang menggunakan tangan palsu. Ibu itu mengaku sering pusing. Tekanan darahnya pernah mencapai 180 mmHg. (Ibu itu hanya ingat tekanan sistoliknya.) Tapi, sudah lama sekali ia tidak periksa tekanan darah lagi. Ia juga mengeluhkan dua gejala yang mirip gejala diabetes melitus ; banyak makan dan sering haus. Saat Ika menyarankannya periksa ke puskesmas, ibu itu cuma tersenyum sambil bilang ia tidak punya uang. Aku jadi menyesal tidak membawa alat pengukur kadar gula darah dan sphygmomanometer (alat untuk mengukur tekanan darah). Perjalanan ke Jetis ini memang diluar dugaanku.

Semua perempuan yang kuwawancarai mengatakan, mereka tidak bisa bekerja lagi sejak menjadi difabel. Sebelum gempa, ada yang bekerja jadi pedagang, karyawan dan sebagainya. Pun ada ibu berkursi roda yang curhat pada kami. Umurnya sekira 60 tahun. Ia hidup sendiri di rumahnya (entah kemana suami dan anak-anaknya). Ia bilang, ia sering kesepian. Acara kumpul-kumpul macam syawalan selalu menghibur hatinya. Ia masih punya saudara yang berumah tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, saudaranya jarang menjenguk. Padahal ia sangat berharap bisa sering dijenguk. Ia pun ingin sering main ke rumah saudaranya itu. Tapi, di rumah saudaranya tidak dibangun jalan plester semen untuk kursi roda. Itu jelas menyulitkan.

Aku baru tahu kalau kondisi sebagian masyarakat Bantul berubah sedrastis ini pasca gempa 2006!

Sebelum ibu-ibu itu pulang, Mas Miko membagikan beras. Masing-masing menerima satu kantong plastik beras. Entah berapa kilogram isinya.

Pembagian beras itu membuatku sulit untuk tidak berpikir kalau mereka adalah korban negara. Ya, korban negara. Aku enggan menggunakan istilah "kurang mampu", "kurang beruntung", atau "prasejahtera". Menurutku, tidak ada yang tidak sejahtera kalau negara becus mengurus rakyatnya. Negara ini memang pahit. Korupsi "dibiarkan", birokrasi tidak efektif dan jadi sumber pemborosan. Kalau temanku bilang, "ini negeri tara lutju." Polisi pamong praja bisa secara brutal menggusur pedagang kaki lima yang tidak punya izin berjualan. Sementara supermarket atau apartemen yang tidak punya izin Amdal tak pernah ditindak. Uang jadi Tuhan tanpa firman. Sungguh tidak lucu!

Sebelum kembali ke Wirobrajan, mas Miko mengajak kami ke rumah seorang yang mas Miko sebut pengusaha muda. Rumahnya cukup besar. Beratap tinggi dan sejuk. Dinding rumahnya tampak baru dicat.

Pengusaha muda itu seorang laki-laki berusia sekitar 28 tahun. Jalannya pincang. Aku berspekluasi itu juga akibat gempa. Ia pengusaha makanan kecil dan katering. Mulai dari kue basah sampai cemilan-cemilan. Dari ceritanya, makanan kecil dan kateringnya sering dapat pesanan. Usahanya cukup sukses.

Aku seperti melihat ada sisi lain di sini. Diantara orang-orang yang jadi difabel, masih ada semangat yang jauh dari keputusasaan...

Pengusaha muda itu bercerita, ia pernah bermaksud mengajarkan ketrampilan membuat makanan kecil pada ibu-ibu difabel binaan Sapda. Namun, mereka tidak bersedia. Mereka takut menggunakan kompor gas. Sejak jadi difabel, kemampuan gerak mereka terbatas. Takut tidak bisa lari kalau kompornya meledak.

Setelah cukup lama ngobrol bersama, kami pamit pulang. Selama perjalanan pulang aku terus teringat Che Guevara. Perjalanan keliling Amerika Selatan telah mengubah Ernesto Guevara "menjadi" Che Guevara. Ernesto Guevara seorang dokter yang akhirnya memimpin revolusi di Amerika Selatan.

Aku sudah baca The Motorcycle Diaries, catatan perjalanan Che selama keliling Amerika Selatan. Bersama kawannya, Alberto Granado, Che mengarungi perjalanan sejauh 12.000 km. Di tempat-tempat yang ia lewati, Che melihat banyak orang jadi miskin akibat pemerintah yang tidak becus urus rakyat. Ketidakadilan hidup di sana-sini. Pengalamannya selama perjalanan itu kelak menjadi "pemantik" yang membuat Che memimpin revolusi.

Che juga menuliskan pengalamannya ketika mengunjungi pasien-pasien kusta, yang ditempatkan di semacam rumah sakit-rumah sakit khusus. Pasien kusta ditempatkan di rumah sakit khusus -jauh dari pemukiman penduduk- karena Kusta penyakit yang mudah menular. Beberapa pasien kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Pasien-pasien di sana senang ketika Che mengunjungi mereka. Che yang berani menjabat tangan mereka tanpa sarung tangan, obrolan hangat, dan perhatian dari Che sangat berarti bagi mereka.

Beruntunglah orang-orang yang mau dan sempat melakukan banyak perjalanan. Aku mengamini bahwa perjalan yang dilakukan seseorang bisa mengubah hidupnya. Ada peristiwa baru dan orang baru yang pasti ditemui dalam setiap perjalanan. Kedua hal yang bisa mengubah cara berpikir dan cara seseorang memandang kehidupan.

Perjalananku ke Bantul ini membuatku melihat hal baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Betapa sebuah bencana alam bisa membawa perubahan yang permanen. Awalnya pasti berat bagi mereka untuk menerima kenyataan sebagai orang difabel. Banyak hal yang tidak lagi sama.

Aku pun merenungkan perjalanan-perjalanan lain yang pernah kutempuh. Tentu saja tidak sejauh Che. Aku sadar aku tidak akan pernah sehebat Che. Kebanyakan perjalananku hanya di lingkup kecil. Tapi aku tak akan pernah lupa pengalaman-pengalaman dari setiap perjalan itu. Sekelumit kisah perjalanan dari Kulonprogo yang memanas karena persoalan tambang pasir besi, bertandang ke sebuah gang dimana ada keluarga yang anak balitanya mengalami gizi buruk di Sleman, penggusuran pedagang kaki lima, balita Marasmus (salah satu bentuk kekurangan gizi yang buruk) yang dimanfaatkan untuk mengemis di Sunmor (singkatan dari sunday morning, semacam pasar dadakan yang ada di sebuah universitas setiap Minggu pagi) dsb.

Sedikit perjalanan-perjalanan itu telah membentuk mimpi-mimpiku. Kelak, aku tidak memimpikan jadi dokter di klinik mewah yang pasien-pasiennya adalah "orang-orang wangi". Aku ingin berada diantara "orang-orang kecil", sekalipun itu di daerah terpencil. Mungkin itu terdengar sok-sokan. Tapi begitulah aku, cuma seorang pemimpi kecil. Dan semoga Tuhan menjaga mimpi-mimpi itu...




Minggu, 11 September 2011

Kamu Ingin Bertemu Tuhan

Dengan jari telunjuk, kamu menggambar wajah tersenyum di permukaan air kolam. Tapi gambarmu segera hilang begitu kamu mengangkat jari dari kolam. Cipratan air mancur di tengah kolam menimbulkan riak-riak kecil. Kamu kecewa karena tidak berhasil menggambar wajah tersenyum. Padahal kamu ingin sekali ada sebentuk senyum yang menghiasi kolam.

Lalu kamu memutuskan menceburkan diri ke kolam. Kamu menyelam sampai dasar kolam. Sialnya, tubuh kurusmu membuat kamu tidak bisa menyentuh dasar kolam. Kamu menghadapkan tubuhmu ke atas. Sambil tersenyum, kamu memandang langit dari dasar kolam. Warna langit yang biru cerah membuatmu merasa senang. Awan-awan tampak selembut kapas.

Tapi bukan warna langit atau segarnya air kolam yang membuatmu bahagia. Kamu merasa sangat bahagia karena berhasil menghadirkan sebuah senyuman di kolam itu. Senyuman yang berasal dari bibirmu sendiri.

Kamu tetap tersenyum meski kepayahan menahan nafas. Kamu tidak takut mati kehabisan nafas. Mati adalah momen bagi manusia untuk bertemu Tuhan. “Dulu Tuhan sudah memilih momenNya untuk menciptakanku. Kini aku sendiri yang ingin menentukan kapan waktuku bertemu Dia lagi. Dan aku sudah memutuskan, sekaranglah waktunya,” katamu dalam hati. Bagimu sekaranglah waktu yang tepat untuk bertemu denganNya.

Kamu merasa sudah cukup untuk hidup. Bukan karena tak ada lagi yang mesti diperbuat. Kamu hanya merasa sudah cukup. Manusia sering terjebak dengan dunia karena tidak mengenal rasa cukup. Dan di dunia ini, kamu tidak ingin terjebak.

Rambutmu yang melayang-layang dalam air membuatmu terlihat makin cantik. Kamu nampak seperti putri dalam dongeng anak perempuan. Ah, tapi hidup tidak seperti kisah manis dalam dongeng para gadis kecil itu. Pada akhir cerita sang putri selalu hidup bahagia selama-lamanya. Bagimu menjadi bahagia atau tidak adalah sebuah pilihan. Pilihan itu lalu menuntut manusia untuk setia memperjuangkan apa yang telah dipilih.

Namun, sekarang kamu tidak perlu memperjuangkan apa-apa lagi. Perjuanganmu sudah cukup.

Orang-orang yang melihatmu dari atas kolam tidak berbuat sesuatu. Mereka yakin kamu baik-baik saja karena kamu terus tersenyum. Beberapa bahkan membalas senyummu. Bahkan ada yang melambaikan tangan padamu.

Kepalamu mulai pusing. Pandanganmu juga terasa kabur. Sayup-sayup kamu dengar ada orang baca puisi. Suara itu makin lama makin jelas. Dalam pandanganmu yang kabur, kamu melihat sesosok pria berpakaian serba putih. Ternyata ia yang sedang baca puisi. Tangan kanannya menggenggam secarik kertas bertuliskan sajak-sajak.

“…Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan...”

Senyummu makin mengembang dengar sajaknya Rendra itu. Kamu sepakat bahwa bibirmu yang tersenyum itu sedang menyatakan sikapmu. “Sikap kita untuk Tuhan. Ahai, aku makin tak sabar bertemu denganMu. Aku ingin memelukMu kalau kita bertemu nanti. Berterima kasih untuk semua yang telah Kau beri. Berterima kasih bahwa aku bisa merasa cukup,” batinmu.

Pria berpakaian serba putih itu membaca sajak lain :

“…ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu….

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!”

Kamu mengenali sajak itu sebagai milik Chairil Anwar. Kamu tertawa dalam hati. Tak lama lagi mungkin kamu juga akan bertemu Chairil. Mungkin sekarang ini ia sedang duduk di bawah pohon apel. Menghisap rokok sambil baca puisi. Dari tempat yang jauh, Tuhan mendengarkan Chairil.

Pria itu mulai membaca sajak yang lain lagi :

“…dan antara ransel-ransel kosong

dan api unggun yang membara

aku terima itu semua

melampaui batas-batas hutanmu,

melampaui batas-batas jurangmu

aku cinta padamu Pangrango

Karena aku cinta pada keberanian hidup”

Itu sajak yang sudah sangat akrab di telingamu. Temanmu yang penyair sering bacakan sajak karya Soe Hok Gie itu untukmu. Setiap kali temanmu bacakan itu sajak, kamu selalu membayangkan Mandalawangi dan Pangrango. Pun kamu bayangkan bagaimana abu jenazah Soe Hok Gie pernah bertaburan diantara bunga edelweis di lembah Mandalawangi. “Gie pasti merasa beruntung karena ia mati muda. Sedangkan aku merasa beruntung karena aku bisa memilih menemui Tuhanku pada usia muda,” lagi-lagi kamu berkata dalam hati.

Sekarang kamu sudah benar-benar kehabisan nafas. Refleks, kamu menarik nafas. Tapi yang terjadi ialah kamu merasakan aliran air masuk ke saluran pernapasanmu. Sakitnya luar biasa! Paru-parumu mulai terisi air.

Hipoksia. Kuku dan sekitar bibirmu berwarna kebiruan. Pusing makin menghantam kepalamu. Kamu merasa kesadaranmu mulai menurun.

Akan tetapi kamu masih saja tersenyum. Tetap saja tersenyum.

Antara sadar dan tidak, kamu merasakan pria yang baca sajak tadi membelai rambutmu. Akhirnya kamu mengerti siapa pria itu. Dia malaikat yang akan mengantarkanmu bertemu Tuhan.

Kamu memejamkan mata. Kesadaranmu akhirnya lenyap.

Ketika membuka mata, kamu tidak lagi berada di kolam. Kamu berada di kebun apel. Tuhan telah menyiapkan kebun apel untukmu. Tuhan sudah lama berkebun untukmu...