Sabtu, 27 Februari 2010

Ia yang (Masih) Menentang Untuk Pergi

Namanya keraguan, ia pasti pernah bersemayam di hati setiap manusia, walaupun hanya setitik. Kadang kala ia begitu kejam, menyiksamu dengan sejumlah besar kegamangan. Sesuatu yang membuatmu sulit tidur, tidak nafsu makan, cepat lelah dan badanmu menjadi lemah. Mungkin mirip seperti Frank Sinatra ketika kena salesma. Biasanya ia akan menjumpaimu ketika kau berada dipersimpangan jalan. Persimpangan jalan yang membingungkanmu karena kau terlalu banyak menimbang hal-hal yang mungkin kau pertaruhkan. Ia makin menyesaki keyakinan yang telah kau persiapkan sebelumnya. Bahkan kadang ia mendesak keyakinanmu, membuatnya menciut lalu menjadi sesuatu yang akhirnya kau lupakan. Dan BOOOOOOOOOOOOOOOOMMMMMMMMM!!! Hilang sudah keyakinanmu yang dulu. Keraguan bisa menjadi begitu hebat, bukan?

Jika keraguan bisa memesan kartu nama, mungkin akan tertulis begini di kartu namanya :
Nama : KERAGUAN
Alamat : HATI KECIL SETIAP MANUSIA
Telepon : 081-keraguan-9992

Kau lihat itu? Ia tinggal di hati kecilmu. Ia ada di sana, atau setidaknya pernah ada di sana. Walaupun kau bisa saja mati-matian menyangkalnya. Tapi ia menetap di hatimu. Tak bisa kau usir dengan setumpuk penyangkalan dan apologi yang kau susun macam beberapa penghuni parlemen di negerimu.

Dan akan kah kau menyesalinya? Menyesali keyakinanmu yang kini telah menguap? Atau mungkin kau malah mensyukurinya? Berterima kasih kepada keraguan karena ia telah menyelamatkanmu dari keyakinan yang salah. Lalu apa makna keraguan itu? Harus kah ia diidentikan sebagai sesuatu yang buruk atau baik? Atau kah sebenarnya keraguan adalah hal yang abstrak? Bagaimana jika keraguan itu tidak abstrak, tetapi ia hanya sesuatu yang absurd?

Keraguan itu tengah menggentayangi pikiranku. Ia masih memberontak untuk berdamai dengan keyakinan yang telah kuciptakan sebelumnya. Hidup ini rasional, dan suatu keyakinan bisa saja salah. Aku masih mencoba merasionalkan keduanya, keyakinan dan keraguan tersebut (harus kuakui kadang keduanya bisa menjadi begitu sialan).

Ia mengahntui otakku sejak aku menimbang-nimbang untuk meninggalkan kalian, kawan-kawan yang sangat berarti bagiku. Mungkin kalian bertanya mengapa aku ingin pergi, tapi bisa saja sama sekali tak bertanya-tanya. Memangnya siapa aku ini? Memangnya aku cukup layak untuk memancing pengatur pusat kesadaran kalian mempertanyakan kenapa aku ingin pergi. Kalian tahu kawan? enam puluh persen komunikasi manusia dilakukan secara nonverbal. Baik itu lewat tulisan atau body language. Itu sebabnya terkadang orang yang verbalnya sangat buruk dapat menulis dengan luar biasa baik. Konon penulis bernama Muhiddin M Dahlan pun begitu. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku sering tak pintar mengungkapkan apa yang ada di pikiranku.

Ada banyak alasan kenapa aku merasa tak dapat lagi melanjutkan kebersamaan ini. Aku menyadari banyak hal telah berubah. Semuanya tak seperti dulu. Tapi perubahan adalah realita. Aku memaklumi bila kini ada yang mulai terbuka topeng-topengnya. Topeng yang membiaskan benci menjadi senyum. Aku paham, dimana pun kita berpijak, akan selalu ada tatapan-tatapan mata yang tak ikhlas. Yang sebenarnya sangat tidak menginginkan kehadiranmu di hadapan kedua bola matanya.

Jika aku bicara masalaha pekerjaan yang kita lalui bersama, ada hal lain yang juga menumbuhkan keyakinan untuk hengkang itu. Manusia bukan makhluk soliter, ia makhluk yang selalu membutuhkan manusia-manusia lain. Begitu juga dengan dua jurnalis pemenang Pulitzer yang membongkar kasus Watergate. Sering kali mereka bersama-sama menghadapi reportase yang sulit dan deadline yang mengejar. Itu membuat tanda tanya-tanda tanya berterbangan di depanku. Jika mereka yang menang Pulitzer saja sering bekerja bersama, kenapa aku sering melakukan kerja jurnalis sendirian? Kenapa tak ada yang menemaniku? hanya memberikan sejumlah janji untuk menemani reportase, tapi realisasinya nihil.

Kadang aku sedih, kenapa justru teman dari persma lain yang mengantarku reportase? Apakah aku telah menjadi demikian “terbuang” diantara komunitasku sendiri? Kenapa aku “seperti” dibiarkan bekerja sendirian? Belum lagi persoalan bidang. Kenapa ????????????????????????????????????????????

Ada kah “kebersamaan” ini berarti banyak? Aku memberi tanda kutip pada kata kebersamaan karena aku jadi berpikir ulang, apakah ini sudah layak untuk dikatakan kebrsamaan? Apa kalian benar-benar mengenalku? Apa aku telah mengenal kalian luar-dalam? Bagaimana jika semuanya semu? Aku hanya merasa mengenal kalian dan kalian hanya merasa mengenalku. Tak sedikit pun aku meragukan pengorbanan kalian untuk semua yang pernah kita lalui, tapi kenapa semua cepat berubah? Kenapa tak seperti dulu lagi?

Kenapa? Kenapa banyak yang berubah dengan sangat cepat?

Saat itu lah aku sampai di persimpangan jalan, antara pergi atau tinggal. Dan ia yang bernama keraguan mencoba menghadang keyakinanku untuk pergi. Tapi sampai kapan ia mampu menahan? Aku sadar, jika aku pergi mungkin aku tak akan seberuntung ini lagi bisa bertemu dengan orang-orang luar biasa seperti kalian. Tapi mungkin akan ada saat dimana aku akan mengayunkan langkahku untuk beranjak. Dunia selalu penuh dengan kemungkinan, kawan. Apa pun bisa berubah. Seperti senja yang bertukar dengan malam. Ketertarikanku pun mulai berubah, aku mulai menoleh kepada sastra, meskipun belum berpaling dari jurnalisme. Aku sedih, kadang jurnalisme membuatku merasa begitu sendirian ketika aku melakukan kerja-kerja jurnalis.

Ia yang bernama keraguan masih berdiri di sana. Masih menentang keyakinanku untuk menjauh dari ruangan berkarpet biru itu. Apakah keyakinanku untuk pergi itu salah? Atau keraguan yang menentang si keyakinan yang salah? Kenapa banyak hal hanya diukur sebagai salah-benar?