Minggu, 19 Desember 2010

Dari Jendela Kamarku

Segala seuatu memiliki awal mula. Hariku bermula dari sini, dari empat sisi dinding bercat ungu muda, kamarku.

Luas kamarku sekira dua belas meter persegi. Sebuah kamar yang meja belajarnya selalu berantakan oleh tumpukkan buku. Dua lemari buku dan satu meja komputer kecil sudah tak kuasa menampung semua bukuku, akibatnya meja belajarku ikut menjadi tempat penampungan buku. Aku hanya bisa menggunakan meja itu jika seluruh bukunya kupindahkan di lantai untuk sementara. Tidak jarang tumpukkan buku itu rubuh jika aku menyusunnya terlalu tinggi atau tidak seimbang. Di samping meja kacau itu, sebuah jendela melekat di tembok. Satu-satunya jendela di kamarku.

Setiap pagi atau siang -bergantung dari pukul berapa aku bangun- aku memulai hariku dengan sebuah aktifitas rutin, membuka gorden jendela kamarku. Cahaya matahari segera berhamburan masuk begitu aku menyibakkan gorden abu-abu dengan sedikit hiasan motif batik. Tak ada pemandangan menarik dari jendela yang bersekat kawat nyamuk itu. Satu-satunya pemandangan hanyalah lorong sempit dan dinding putih berlumut yang membatasi rumah kontrakanku dengan rumah tetangga.

Itu telah menjadi semacam rutinitas, bangun tidur dan membuka gorden jendela. Sebuah rutinitas untuk mengawali hari yang belum kuketahui rencana Tuhan apa yang akan terjadi hari ini.

Lalu dimulai dari gorden dan jendela itu, aku ingin belajar mensyukuri satu hari lagi yang Tuhan berikan. Dalam rasa syukur itu, jika aku menangis semalam, aku berusaha tidak membawa air mata itu hari ini. Aku akan belajar lebih kuat. Ya, harus selalu belajar, belajar dan belajar, karena setiap hari adalah hari baru.

Hidup ini hanya sekali, dan yang sekali ini harus berarti…


Selasa, 14 Desember 2010

Buku dan Hujan

Kekasih baruku bernama
buku dan hujan
Pada dingin yang menikam,
kami tenggelam bersama
dalam banjir aksara

Senin, 29 November 2010

Only U, dan (benar-benar) hanya kamu


Only U, dan (benar-benar) hanya kamu...
Pensil HB, 2B dan 4B pada kertas A4

Senin, 01 November 2010

Cerita 21

Ketika Joni dua satu dan Susi sembilan belas,
hidup sedang bergegas di reruntuh ruang kelas
kota-kota menjalar liar dan rumah terkurung dalam kotak gelas,
dingin dan cemas.
Namaku Joni,
namamu Susi.
Namamu Joni,
namaku Susi.

(Intro, Melancholic Bitch)

Ahay, sejak 25 Oktober 2010 saya sudah seusia Joni. Tapi semoga saya lebih beruntung daripada Joni yang diceritakan menjadi korban amuk massa pada lagu “Apel Adam.” Joni dihajar massa setelah ketahuan mencuri roti untuk Susi yang sedang sakit.

Saya sendiri tidak tahu mengapa saya bisa tergila-gila pada Melancholic Bitch, band indie dari Jogjakarta. Melancholic Bitch telah menjadi salah satu band yang paling saya sukai, selain Linkin Park dan Green Day. Tapi kali ini saya bukan akan berbicara soal musik.

Ini bukan hanya cerita tentang hari dimana saya mulai berusia dua puluh satu tahun. Ini sedikit penggalan cerita mengenai apa yang sudah terjadi selama hidup saya yang kini telah dua satu. Hanya sedikit.

Menurut saya dan beberapa teman dekat, saya termasuk anak yang introvert. Berdasarkan yang saya pelajari selama Blok Kesehatan Jiwa, tipe kepribadian introvert bukan lah sesuatu yang baik. Seingat saya, orang introvert cenderung kesulitan membuka diri dan berbicara pada orang lain tentang masalah yang ia hadapi. Ia lebih banyak memendamnya sendiri sehingga sering kali tidak mendapatkan solusi yang tepat. Ini membuat orang introvert lebih mudah terjangkit depresi.

Selama ini saya berusaha menganalisis apa yang membuat saya menjadi seorang introvert. Lalu saya menemukan kemungkinan penyebabnya dalam kepingan puzzle masa kecil saya. Terus terang, ini bukan peristiwa yang pernah saya ceritakan kepada siapa pun, walaupun tentu saja keluarga saya mengetahuinya.

Tidak banyak hal yang bisa saya ingat ketika saya balita. Tapi peristiwa itu tidak bisa dilupakan. Ketika kecil saya dan kakak diasuh oleh seorang pembantu karena mama dan papa bekerja sejak pagi hingga sore. Waktu itu kami sekeluarga masih tinggal di Cilacap. Saat itu kalau tidak salah kakak masih TK dan saya belum sekolah.

Pada suatu siang, pembantu kami mengurung saya dan kakak di dalam kamar yang gelap dan menguncinya dari luar. Kami yang masih kecil begitu ketakutan dan menangis. Tapi pembantu itu tidak membukakan pintu sampai waktu yang cukup lama. Saya lupa siapa yang bercerita pada saya ketika saya sudah cukup besar. Katanya waktu itu pembantu kami sedang pacaran.

Lalu pernah juga pembantu itu memecahkan asbak secara tidak sengaja. Ia menggunakan beling pecahan asbak untuk melukai tangan kakak dan mengatakan pada orang tua kami kalau kakak yang memecahkan asbak saat bermain. Saya kurang paham tentang psikologi, tetapi mungkin apa yang dilakukan pembantu kami tergolong child abuse. Dan itu cukup membekas dalam hidup saya.

Saya tidak ingat kapan orang tua saya memberhentikan pembantu itu. Kalau tidak salah, setelah tetangga kami banyak bercerita tentang kelakuannya. Sedikit ingatan itu membuat saya mengerti mengapa saya benci mati lampu dan tidak suka pada ruangan yang sama sekali gelap. Walaupun terkadang saya mematikan lampu kamar saat tidur, tapi biasanya saya membiarkan laptop atau televisi tetap menyala sebagai penerangan. Tentu saja, itu menjadi salah satu dosa saya pada bumi karena tidak hemat energi listrik.

Saya sangat suka menggambar dan mempunyai dua buku sketsa. Bagi saya buku sketsa terkadang mirip seperti buku harian, sama-sama menjadi tempat penampungan “sampah” pemikiran dan perasaan. Bedanya, buku sketsa menampung sampah-sampah dalam wujud visual. Pada salah satu buku sketsa, ada sebuah gambar tangan yang berdarah-darah. Itu gambar lama dan saya tidak ingat kapan dan mengapa saya menggambar itu. Lagi-lagi saya mengacu pada ingatan masa kecil itu, mungkin kejadian itu masih mempengaruhi alam bawah sadar saya.

Akhirnya sejak kecil saya tidak terbiasa bicara pada orang dewasa (termasuk orang tua saya) karena takut. Ada beberapa hal lagi yang tidak bisa saya ceritakan di sini, hal-hal yang juga membuat saya tidak biasa bicara pada orang lain. Mungkin dan hanya mungkin (perlu serangkaian tes dan analisis yang lebih dalam untuk memastikannya), peristiwa-peristiwa tadi menjadi salah satu faktor pendorong yang membuat saya menjadi seorang introvert.

Saya tidak pandai bicara pada orang lain, sering tidak bisa menyampaikan dengan baik apa yang saya rasakan. Kata orang pola komunikasi saya buruk. Karena tidak bisa berkomunikasi verbal dengan baik, saya mengalihkannya pada tulisan dan gambar. Itu sebabnya saya suka sekali menulis dan menggambar, menyukai hal-hal yang tidak verbal. Itu juga yang membuat saya sulit lepas dari buku harian dan buku sketsa.

Seorang sahabat yang sudah saya kenal sejak SMP pernah memarahi sikap introvert saya. Katanya dia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada saya, hanya mendapati saya sudah “jatuh” tanpa tahu bagaimana saya bisa terjatuh. Itu membuatnya kesal, ia merasa tidak dianggap sebagai seorang sahabat.

Tetapi ada banyak peristiwa yang menyadarkan saya untuk berubah. Peristiwa-peristiwa yang belum lama terjadi. Oleh karena kejadian-kejadian itu, sejak beberapa bulan lalu saya mencoba berubah, berusaha keras untuk belajar terbuka pada orang lain. Sejauh ini tidak mudah, karena memang tidak terbiasa. Butuh usaha keras untuk berbagi apa yang saya rasakan kepada orang lain, mencoba memperbaiki pola komunikasi saya. Mendobrak suatu kebiasaan yang sudah mengakar memang sulit. Jika saya menceritakan sesuatu yang menurut saya penting kepada seseorang, itu artinya saya telah mempercayai orang tersebut. Betapa menaruh kepercayaan juga bukan hal mudah untuk saya.

Terbuka pada orang lain ternyata sangat bermanfaat. Membagi apa yang dirasakan bisa meringankan beban dan sering kali masalah saya terselesaikan dengan baik. Ternyata jadi seorang yang mendapat kepercayaan sebagai tempat berbagi pun menjadi kebahagiaan tersendiri. Setidaknya begitu lah kata beberapa orang yang telah saya percayai.

***

Senin 25 Oktober 2010 menjadi hari ketika saya genap dua puluh satu tahun. Saya bukan tipe orang yang mengistimewakan hari ulang tahun. Bagi saya hari ulang tahun tetap seperti hari-hari lainnya. Hanya sedikit berbeda karena pada hari itu Tuhan menciptakan selembar kertas dan menuliskan nama saya pada sudut kanan atasnya. Kertas yang lalu diisi dengan tulisan, coretan, goresan dan tumpahan-tumpahan cat air di sana-sini ; sebuah analogi tentang hidup. Saya bersyukur untuk semua yang telah Tuhan berikan.

Karena tidak mengistimewakan hari ulang tahun, hal-hal sederhana yang dilakukan oleh orang-orang dekat sudah membuat saya merasa sangat senang. Telepon dan pesan singkat yang mengucapkan selamat ulang tahun pada pukul 00.00 WIB, aliran ucapan selamat ulang tahun dari ponsel dan Facebook, apalagi jika diberi mawar atau teddy bear. Saya sangat berterima kasih untuk orang-orang yang serupa malaikat baik, awan naungan dari matari yang terik. Orang-orang yang telah ikut mewarnai dan menjaga selembar kertas yang bertuliskan namaku pada sudut kanan atasnya. Sungguh, saya menyayangi kalian dalam segala musim.

Apa yang saya dapatkan pada 25 Oktober 2010 benar-benar unik. Selesai tutorial, seorang teman kampus yang tergabung dalam kelompok tutorial yang sama dengan saya memberi sepuluh lilin warna-warni tanpa kue. Hanya lilin saja ! Saya susah payah menahan tawa yang sudah mau meledak. Hal paling unik yang pernah terjadi pada hari ulang tahun saya. Terima kasih ya, kawan :D
Lalu selepas magrib mama, papa dan kakak mengunjungi saya di Jogja. Mereka dari rumah nenek di Magelang, mampir ke Jogja sebelum pulang ke Purwokerto. Bagi saya ini sangat istimewa karena untuk pertama kalinya kami berkumpul di hari ulang tahun saya sejak saya merantu ke Jogja pada 2007. Hari itu semakin istimewa karena kami sekeluarga sempat makan bersama.
Saya, papa dan mama


Saya dan kakak. Orang bilang kami tidak begitu mirip

***

Setiap orang bergantung pada hatinya masing-masing. Dan hidup adalah perca yang ingin kuselesaikan…

Selasa, 28 September 2010

Ruang dan Waktu yang Bertengkar

Ruang dan waktu bertengkar di meja makan. Pertengkaran mereka melahirkan kekacauan dalam rupa piring-piring pecah dan meja-kursi yang terjungkal. Lucu sekali, padahal meja makan merupakan bagian dari ruang dan waktu. Kepingan puzzle kehidupan manusia tak bisa lepas dari meja makan, karena manusia pasti makan. Banyak peristiwa terekam di sana. Sebagian kehidupan manusia bisa terlukis jika rekaman-rekaman tadi disatukan.

Pusing sedang bermain-main dengan kepalaku. Aku kira malam itu akan sama seperti malam-malam yang lain. Aku memasuki rumah makan Padang dan menuju meja bulat tempat aku dan teman-temanku biasa makan. Kami selalu makan malam di sini dan selalu duduk di meja bulat bertaplak putih dekat jendela. Lokasi meja itu berada di sudut ruangan. Teman-temanku sudah duduk mengelilingi meja ketika aku datang. Mereka selalu duduk di tempat yang sama. Aku berharap pusing akan pergi setelah aku makan. Tidak seperti sebelumnya, kali ini aku bertekad menghabiskan makan malamku.


Jendela dan Segelas Soda

Pensil HB dan 4B pada kertas A4


Rumah makan ini sedang ramai pengunjung. Semua meja penuh oleh orang-orang yang makan sambil mengobrol. Sebagian besar makan dengan tangan, tidak pakai sendok.

Lalu semua ini terjadi pada malam yang biasa, ketika kami berenam, eh berdelapan, bukan berdelapan, tapi bertujuh (ah sudahlah, ada kalanya jumlah tak begitu penting) sedang makan. Kali ini kami hanya makan sepiring nasi tanpa lauk apapun. Suara sendok, garpu dan piring yang beradu benar-benar gaduh. Nyaring seperti kekesalan di hati kami yang tak semuanya bisa terungkap. Hanya sebagian kecil yang muncul dan terucap oleh bibir. Ada yang tak terucap karena merasa sungkan, ada juga yang terlalu menyakitkan jika dikatakan. Tetapi sebagian besar tertahan karena lidah memang tidak cukup untuk mewakili hati.

Nasi putihnya hambar. Kami tak merasakan rasa nasi. Seolah ada yang mencabut saraf-saraf sensorik pengecap di lidah. Hati kami yang merasa. Rasanya selalu berubah-ubah di setiap suapan. Rasanya bukan asin atau pahit. Ada suapan yang terasa sangat perih seperti dicabik-cabik. Aku mati-matian menahan air mata yang sudah hendak mengalir. Sakitnya luar biasa! Namun ada yang terasa amat melegakan, dan pada suapan yang lain hati ini rasanya melayang bahagia.

Menu makan malam ini sungguh aneh. Tak bisa diprediksi rasa apa yang muncul pada setiap suapan nasi. Hahaha….sungguh misterius. Serupa kehidupan yang serba tak terduga.

Tapi mengapa rasa nasi putih jadi seperti ini?

Kami membisu dengan ganjil di meja makan. Semua makan tanpa bicara. Dalam kebisuan, merasakan rasa yang berganti-ganti di hati. Lalu Joni mengawali percakapan. “Mungkin sekarang Karin nggak bisa, tapi Karin harus biasa. Karin mengerti, kan?” Ahai, lagi-lagi ia mengulangi nasihat itu padaku. Nasihat yang selalu ia ucapkan ketika aku akan memulai pekerjaan baru setelah makan malam. Joni selalu menganggapku anak kecil! Tentu saja aku mengerti. Analoginya seperti belajar memasak. Jika setiap hari aku terbiasa berada di dapur, menjalankan perintah ini-itu dari si koki diktator, suatu saat aku pasti bisa memasak. Joni tak percaya aku bisa menyelesaikan pekerjaan baruku sebagai kuli tinta. Sangat meremehkan!

Selain telingaku, tak ada yang hirau dengan perkataan Joni. Semuanya sibuk makan. Tiba-tiba jari telunjuk Sani berdarah. Ia menggenggam sendok terlalu kuat. Rupanya bukan hanya jari Sani yang berdarah, jariku juga. Lalu kulihat darah sudah mengalir dari seluruh jari kami. Toni menekan ujung kelingkingnya lalu menjilat darah yang mengalir dari luka itu. Nia mulai menangis tersedu. “Sudah jangan panik!” Joni berteriak gusar. Jika sudah berteriak macam begitu, kami semua tahu sebentar lagi Joni akan mulai bermonolog.

“Sudah lah, tidak apa-apa. Kita tumbuh dewasa di meja makan. Tak perlu takut berdarah untuk meja bulat ini. Bahakan jika meja ini membutuhkan darah, kita harus berdarah-darah untuknya. Berdarah-darah untuk tempat yang mendidik dan mendewasakan kita. Kita bukan siapa-siapa sebelum berada di meja ini. Setiap hari kita makan bersama. Berbincang dan bertengkar sambil makan. Dinamika meja ini telah mengajari kita arti kedewasaan.

Kalian tahu? Darah sangat berarti bagi orang Afganistan. Siapa ayah-ibumu dan darah siapa yang mengalir di tubuhmu amat penting. Darah itu menunjukkan asal-usulmu, siapa leluhurmu, dan apa yang telah diperbuat oleh leluhurmu.

Tapi hal itu tak penting bagiku. Menurutku keluarga tak terbatas pada darah. Selama kita saling menjaga dan menyayangi, maka kita adalah keluarga. Tak perlu tautan darah untuk menjadi sebuah keluarga. Dan meja makan ini telah menjadikan kita keluarga tanpa mengikat darah.

Aku yakin kalian pun mengerti. Untuk bisa tetap hidup, manusia butuh darah mengaliri pipa-pipa pembuluh darahnya. Kalian tidak perlu takut pada darah, termasuk darah yang keluar dari telapak tangan kalian itu.”

Lalu kami terdiam lagi. Semua meresapi perkataan Joni sambil kembali makan. Darah masih mengalir dari jari-jari. Apa benar meja ini yang mendewasakan kami? Aku tak berani berani menjawab pertanyaanku sendiri. Mungkin saja meja ini telah mendidikku dengan sangat halus. Begitu halus sampai aku tak merasa sedang dididik.

Aneh, nasinya tak kunjung habis, seperti tak akan pernah habis-habis. Kekesalan pun masih ngendon di hati kami. Aku jadi mengasihani hati kami. Selain mengecap rasa-rasa aneh dari tiap suapan nasi, masih juga jadi tempat bersarangnya kekesalan. Ah, kami menyiksa hati sendiri.

Mendadak kami berhenti makan secara serempak, seolah ada yang memerintah kami. Kemudian kami saling pandang. Tatapan penuh kemarahan menghiasi mata kami. Rupanya sekarang kami bertengkar dalam bahasa diam. Mungkin pertengkaran ini akibat akumulasi kekesalan. Tapi tak ada yang menyuarakan kemarahan lewat kata-kata. Setiap tatapan itu begitu mengerikan. Lebih mengerikan dari mata srigala lapar. Keheningan yang lebih ganjil membayangi kami. Masing-masing membisu, mewakilkan kemarahannya pada bahasa diam dan tatapan mata yang mengancam. Apa yang terjadi jika bahasa diam sudah menyerah mewakili kemarahan-kemarahan kami? Apa kami akan saling menikam?

Dalam sekejap mata, dengan sekuat tenaga Sani melemparkan piringnya ke tengah meja. Suara piring pecah menggema di rumah makan mungil ini. Selain Joni, yang lain pun melakukan hal yang sama, aku juga melempar piringku ke tengah meja. Para pengunjung lari kocar-kacir mendengar keributan dari meja kami. Teriakan panik yang melengking mengiringi derap langkah kaki. Atmosfir panik dan takut membuat hatiku ingin memuntahkan rasa-rasa yang tadi dijejalkan. Hanya dalam hitungan detik ruangan ini telah ditinggalkan. Hanya kami yang masih duduk di tempat. Duduk diam dengan kepala tertunduk, dalam perasaan campur aduk yang tidak enak.

Jadi ini lah jawabannya. Luapan rasa marah telah pecah. Pecahannya berserakan di lantai dan di meja, serupa pecahan piring-piring kami. Tapi sebesar apapun kemarahan itu, kami tak sanggup saling menyakiti. Tak ada yang melempar piring ke kepala kawannya. Tak akan pernah ada yang saling menikam.

Sekarang aku sadar, bukan ruang dan waktu yang bertengkar di meja makan. Kami lah yang bertengkar. Kami hanya sekolompok anak berusia dua puluhan awal yang sedang belajar arti kedewasaan, tapi tak seorang pun dari kami telah benar-benar dewasa. Jika kami sudah dewasa, kami tak akan berkomunikasi dengan cara seburuk ini.

Pertengkaran sangat lumrah dalam setiap keluarga. Semua keluarga pasti begitu, bertengkar lalu berbaikan sebelum memulai pertengkaran-pertengkaran selanjutnya. Namun apa yang kami lakukan sangat berbahaya. Memendam kekesalan dan amarah sama seperti menghidangkan bom waktu di meja makan. Celakanya, tak seorang pun tahu kapan bomnya meledak.

Semoga kelak kami menyadari betapa berbahayanya pola komunikasi kami. Mudah-mudahan kami mengerti sebelum ruang dan waktu benar-benar bertengkar di meja makan. Karena jika ruang dan waktu bertengkar, pertemgkarannya akan menimbulkan kekacauan yang lebih hebat daripada ini. Mungkin ruang dan waktu akan tega saling tikam.

***

Seorang pelayan laki-laki berpakaian serba hitam berjalan mendekati meja. Ia membawa gelas-gelas berisi minuman bersoda, lalu meletakkannya di hadapan kami. Seperti apa rasanya minuman bersoda ini? Dan pusing semakin betah bertengger di kepalaku…

Rabu, 01 September 2010

Yang Berpeluh pada Penghujung Subuh

Ketika nadi kehidupan seolah belum berdetak di Universitas Islam Indonesia (UII), mereka sudah lebih dulu bergerak.

Belum genap jam enam, udara dingin masih merajam. Boulevard UII tampak lengang, hanya terdapat dua orang pria paruh baya sedang lari pagi. Lampu penerang jalan masih menyala di sepanjang boulevard. Bulan separuh pun masih menggantung di langit yang perlahan mulai terang.

Suara sapu lidi yang bergesekkan dengan trotoar memecah keheningan. Seorang pemuda mengenakan kaus ungu tua, celana jins dan kaki yang beralaskan sandal jepit biru menyapu dengan sapu lidi bergagang panjang. Tubuhnya kurus dengan tinggi sekira 170 sentimeter. Ia adalah Syarif, satu dari 14 karyawan yang bertugas menjaga kebersihan lingkungan di luar gedung-gedung UII.

Meskipun jam kerjanya mulai pukul tujuh, setiap hari Syarif berangkat sekitar jam 05.45 WIB. “Berangkat awal biar bisa istirahat lebih gasik,” kata Syarif sambil tertawa. Statusnya masih karyawan kontrak. Syarif sudah bekerja selama kurang lebih tujuh tahun di UII. Setiap pagi ia menyapu area samping Masjid Ulil Albab, termasuk di depan tempat penemuan Candi Pustakasala yang sempat menghebohkan beberapa waktu lalu. Siangnya ia akan sibuk merawat taman, kebun dan selokan hingga jam kerja berakhir pada pukul empat sore.

Salah seorang pekerja kebersihan sedang menyapu di boulevard UII

Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakart Nomor 217/KEP/2009, Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 sebesar Rp 745.694. Jika kelayakan upah diukur berdasarkan upah minimum itu, penghasilan Syarif sudah mendekatinya. Sejak tiga tahun yang lalu, penghasilan bersihnya 28.000 rupiah perhari. Setelah sebelumnya mengalami kenaikan dari 15.000 dan 18.000 per hari.

UII menggunakan nama Pesona Ta’aruf (Pesta) untuk menamai kegiatan orientasi pengenalan kampus kepada mahaisswaa baru. Setiap kali Pesta diselenggarakan, pekerjaan Syarif dan kawan-kawannya menjadi berlipat. Saat Pesta selalu ada banyak sekali sampah. “Tapi bayaran untuk membersihkan tidak ditambah. Panitia mahasiswa itu nggak tahu kalau kita yang membersihkan. Istilahnya nggak ada komunikasi. Mereka nggak memberikan uang tambahan,” kata pria berusia 28 tahun itu.

***

Sudah Sembilan bulan Waluyo menjalani pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan Syarif. Hanya saja ia membersihkan lingkungan dalam wilayah yang lebih sempit. Dia dan 11 orang lainnya bertanggung jawab terhadap kebersihan area sekitar gedung Fakultas Kedokteran. Jam kerjanya pun sama, dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore.

Waluyo sedang menyapu area parkir Fakultas Kedokteran. Kaus berkerah warna biru membalut tubuhnya yang tampak berisi. Celana panjang coklat yang dia kenakan hampir sewarna dengan daun-daun kering yang ia sapu. Dia mengumpulkan sampah daun kering dalam gundukan-gundukan kecil. Pada musim kemarau sampah daun kering akan dibakar, sedang pada musin hujan sampah itu akan ditimbun. Setelah selesai menyapu, Waluyo akan merawat taman-taman di Fakultas Kedokteran.

Dalam hal penghasilan, Waluyo tidak seberuntung Syarif. Gajinya 350.000 per bulan, jauh dibawah ketentuan upah minimum. Gaji itu bukan berasal dari UII. “Yang menggaji kami bukan UII, tetapi CV Wijaya Kusuma. Saya dan kawan-kawan kerja pada CV Wijaya Kusuma. Fakultas Kedokteran UII bekerja sama dengan CV Wijaya Kusuma. CV ini lah yang bertanggung jawab terhadap kebersihan di luar gedung Fakultas Kedokteran,” katanya

Upah yang minim tidak membuatnya menyerah dan bergantung pada belas kasihan. Sebuah upaya dia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Ia membuka warung kelontong di rumah, warung yang dia kelola bersama dengan istri.

Kedua tangan Waluyo menyapu daun-daun kering dengan sigap. Sesekali ia merapikan ikatan lidi pada sapunya. Titik-titik keringat mulai bermunculan di dahi Waluyo. Tak satu pun keluhan terucap selama ia menyapu. Seolah Waluyo ingin menunjukkan bahwa dibalik pekerjaannya ada kekuatan yang jauh dari keputusasaan.

Beberapa mobil dan motor mulai berlalu-lalang di boulevard pada pukul tujuh. Sebagian besar boulevard sudah bersih dari sampah. Tentu saja, ini berkat para pekerja yang sudah bergerak sejak penghujung subuh.


Foto oleh Akhmad Ikhwan fauzi

Minggu, 22 Agustus 2010

you give me wings when i'm falling


You Give Me Wings When I'm Falling
pensil HB dan 4B pada kertas A4
2010

Do'a Sebelum Tidur

I
Matari yang berestafet dengan langit malam,
semoga selalu menjaga tidurmu
Deretan angka dalam kalender hanya lah bilangan
Waktu pun akan berdamai dengan mimpimu
Juga anak panah hujan yang selalu bersyukur
atas kehadiranmu dalam setiap titiktitik airnya
:
II
Mungkin ini hari yang berat,
tapi kau beruntung memiliki mereka
Mereka menjagamu seperti anak sungai setia pada batu kali,
tetap bersamamu pada sisi gelap hari ini
Mereka tak membiarkan tanda pada matamu
larut dalam airmata. Karena hanya tanda pada matamu
yang membedakan kamu dengan prajuritprajurit lain
Mereka pun melipatkan tangan dalam doa
Semoga esok kau memiliki hari yang lebih baik
Hari yang menghapuskan sisasisa sendu
:
III
Nyanyian para jangkrik tak pernah terdengar di sini
Tak ada celah untuk menitipkan ucapan selamat tidur
lewat melodi gesekan sayapsayap jangkrik
Tetapi jarijari angin masih setia
Ia akan memetik malam, lalu menuliskannya
jadi katakata sederhana untuk mengantarkan tidurmu

Selamat tidur

Kamis, 29 Juli 2010

Di Antara Benteng-Benteng

Telah berdiri ribuan benteng
di dalamnya dingin, pengap lagi gelap
cahaya senja tak diizinkan masuk

Antar benteng tak ada jembatan penghubung
arsiteknya habis akal
semua komunikasi selalu patah

Jauh di atas sana
malaikat bersayap satu tertawa
tawanya bergema diantara awan-awan hitam
tak hirau ia pada darah
yang menetes dari ujung-ujung sayap satunya

Maka bertanya lah pada hati masing-masing
mengapa membangun benteng yang begitu angkuh...

Minggu, 11 Juli 2010

Orang Miskin (Masih) Dilarang Sakit

“Kemiskinan adalah musuh nomor satu manusia. Satu kemiskinan dapat menyebabkan sejuta bahaya.” (Henrik Ibsen)

Ini karikatur yang saya buat untuk mengkritik sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Memang bukan gambar yang bagus, tapi ini hal yang mungkin terjadi pada orang miskin, mati sebelum mendapat layanan kesehatan!



Era otonomi daerah harus dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan oleh pemerintah kepada warga negara. Sayangnya otonomi daerah yang telah berlangsung belum memberikan perubahan yang signifikan. World Development Report 2004 menyatakan bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses orang miskin dan hal ini memicu terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Sudah menjadi kewajiban negara untuk mengambil peran sentral dalam memberi pelayanan sosial kepada rakyat. Konsep klasik pelayanan sosial terdiri atas lima hal dasar : kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Welfare state adalah sebutan bagi peran sentral negara terhadap lima hal tersebut.

Kesehatan menjadi salah satu unsur welfare state yang harus dipenuhi. Berbicara tentang pelayanan kesehatan, nampaknya orang miskin berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka ingin sembuh dari penyakitnya. Di sisi lain, untuk sembuh perlu biaya yang tidak sedikit.

Banyak daerah yang masih membebankan tarif tinggi untuk layanan kesehatan. Bahkan ada daerah-daerah yang menjadikan pelayanan kesehatan sebgai sumber terbesar pendapatan asli daerah (PAD). Di lingkup DIY sendiri hal itu masih terjadi. Berikut ini data dari Institute for Development and Economics Analysis mengenai analisis APBD kabupaten dan kota di Yogyakarta 2006.



Asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (Askeskin) diharapkan menjadi jaring penyelamat bagi penduduk miskin di kala sakit. Namun, belum semua penduduk miskin di DIY merasakan pelayanan program kesehatan tersebut.



Jika orang miskin sakit, ia akan menghadapi tiga persoalan. Pertama, kemana akan dibawa. Biaya di Puskesmas memang murah. Namun, tidak semua penyakit dapat ditangani karena keterbatasan peralatan medis. Rujuk ke rumah sakit tentunya akan memakan biaya lebih banyak. Kedua, jika harus ada pemeriksaan tambahan, sudah pasti ini akan semakin menguras kantong. Pemeriksaan tambahan bukan sesuatu yang gratis. Ketiga, biaya obat-obatan. Biaya obat-obatan selalu berkorelasi dengan banyaknya obat yang diresepkan dokter.

Lengkap sudah penderitaan orang miskin. Sakit yang diderita, mahalnya pelayanan kesehatan, belum lagi kualitas pelayanan kesehatan. Nampaknya tidak berlebihan bila Eko Prasetyo menulis buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit. Realita yang terjadi membuat seolah orang miskin memang dilarang sakit. Wiji Thukul mengabadikan realita tersebut dalam puisi Suti :
Suti tidak pergi kerja
Pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
Tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
Batuknya memburu
Dahaknya berdarah
Tak ada biaya


Suti kusut masai
Di benaknya menggelegar suara mesin
Kuyu matanya membayangkan
Buruh-buruh yang berangkat pagi
Pulang petang
Hidup pas-pasan
Gaji kurang
Dicekik kebutuhan


Suti meraba wajahnya sendiri
Tubuhnya makin susut saja
Makin kurus menonjol tulang pipinya
Loyo tenaganya
Bertahun-tahun dihisap kerja


Suti batuk-batuk lagi
Ia ingat kawannya
Sri yang mati
Karena rusak paru-parunya


Suti meludah
Dan lagi-lagi darah

Suti memejamkan mata
Suara mesin kembali menggerumuh
Bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
Tahu mereka dibayar murah

Suti meludah
Dan lagi-lagi darah

Suti merenungi resep dokter
Tak ada uang
Tak ada obat


Kemiskinan bukan hanya deretan angka di tabel-tabel terbitan Biro Pusat Statistik. Ia adalah kenyataan yang hidup di sekitar!

Rabu, 23 Juni 2010

Jejak-Jejak Pengabdian

Saya kuliah di fakultas kedokteran Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta. Sudah menginjak semester enam sekarang. Banyak hal bisa saya ceritakan tentang kampus dan kehidupan saya sebagai mahasiswa. Salah satunya tentang dosen.

Cerita tentang dosen dapat menjurus ke berbagai arah. Mulai dari dosen yang killer, ganteng, baik hati, murah nilai dan sebagainya. Tetapi cerita tentang dosen Ilmu Kedokteran Jiwa di kampus saya agaknya lain dan mungkin bukan sesuatu yang biasa terjadi.

Salah satu kegiatan belajar-mengajar di kampus saya adalah kuliah pakar. Disebut kuliah pakar karena pemberi materi kuliah adalah seorang pakar yang ahli di bidangnya. Dosen yang mengajar sangat beragam latar belakangnya. Mulai dari profesor, dokter spesialis, sampai master psikologi.

Sselasa, 8 Juni 2010 saya mengikuti kuliah pakar Ilmu Kedokteran Jiwa. Topiknya tentang kesehatan jiwa pada orang usia lanjut. Dokter Prajitno Siswowijoto, seorang dokter spesialis jiwa yang mengisi kuliah pakar siang itu. Ia juga menjabat sebagai kepala Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa di fakultas saya. Yang menarik, usianya 79 tahun, hampir kepala delapan!



Tak dapat dipungkiri bahwa usia membatasi aktifitas manusia, terutama usia tua. Suara dokter Prajit serak saat bicara, hal yang lumrah pada usia lanjut. Namun, semangat mengajarnya tak kalah dengan yang lebih muda. Selama sekitar satu jam lebih dokter Prajit mengajar sambil berdiri di dekat meja dosen. Tangan kanannya menggenggam erat microphone. Sesekali ia mengacungkan tangan kirinya ketika berbicara. Gaya itu mengingatkan saya pada Bung Tomo ketika berteriak ”merdeka atau mati” saat mengobarkan semangat rakyat Surabaya pada peristiwa 10 November, kejadian bersejarah yang kini diperingati sebagai hari pahlawan.

Badannya kurus dengan tinggi sekira 160 senti meter. Punggungnya sedikit bungkuk. Kult sawo matang yang membungkus tubuhnya telah keriput di banyak tempat. Kesan Islami terpancar dari penampilannya : kopiah hitam, baju koko lengan panjang warna coklat muda, celana panjang putih. Rambut tipis beruban tampak menyembul dari bagian kepala yang tidak tertutup kopiah. Kumisnya yang keabuan terlihst senada dengan warna rambut berubannya.

”Sholat itu ndak boleh ditinggalkan,” kata dokter Prajit. Ia sering menyelipkan ajaran-ajaran Islam di sela-sela penyampaian materi. Orang tua biasanya suka menasihati anak-anak muda, dokter Prajit pun begitu. Ia menasihati mahasiswanya untuk rajin belajar.

Sesekali senyum ompong terukir di wajahnya ketika ia mencoba bercanda dengan mahasiswa, walaupun tak banyak mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Dari sekira 200 mahasiswa yang mengambil blok Kesehatan Usia Lanjut, hanya sekitar 50 mahasiswa yang menghadiri kuliahnya. Sudah tentu ruang kelas berkapasitas sekira 260 mahasiswa dengan model susunan kursi seperti gedung teater tampak lengang.

Kuliah dokter Prajit sepertinya tidak populer di kalangan mahasiswa. Maklum, ia tidak pernah menggunakan slide presentasi dalam mengajar. Dia hanya membagikan hand out sebelum memulai kuliah. Hand out-nya kadang diketik dengan mesin tik, bukan dengan komputer. Ditambah lagi suara seraknya yang terkadang sulit dipahami membuat mahasiswa berpikir ulang sebelum menghadiri kuliahnya.

Saya pernah berpapasan dengan dokter Prajit di tempat parkir. Saya takjub melihatnya menyetir sendiri mobil sedan toyota hijau yang tampak sudah berumur. Menurut penuturan seorang teman yang bernama Hilmi, dokter Prajit membeli mobil itu dengan penghasilannya tidak lama setelah ia menjadi dokter. Tapi Hilmi tak tahu pasti tahun berapa dokter Prajit membeli mobilnya. Sepertinya bagi dokter Prajit mobil itu punya arti yang tak ternilai.

Saya yakin dokter Prajit bukan orang yang berkekurangan. Menurut pengakuannya ia pernah menjabat sebagai kepala rumah sakit jiwa. Sudah tentu, uang bukan tujuan utama untuk tetap mengajar di usia senjanya. Saya kira, keinginan mengabdi pada dunia pendidikan kedokteran yang membuatnya masih bertahan mengajar.

Ketika usia tua tak menghentikan seseorang untuk terus mengabdi, ada kah pengabdian itu mengenal batas? Apakah ia mengenal kata ”cukup”?

Sabtu, 12 Juni 2010

Dialog-dialog

Selalu terjadi dialog-dialog, baik yang imajiner maupun yang nyata. Dialog yang terus terjadi, hingga terkadang kau tak bisa membedakan lagi mana yang nyata, mana yang bisikan hatimu, atau yang sepenuhnya imajiner. Namun, semuanya melebur di dalam satu kotak kenangan. Kau tak akan pernah melupakannya walau waktu coba mengaburkannya.

"Kamu seperti bukan Tika yang aku kenal."
"Maksudmu?"
"Kamu bukan Tika yang pendamai lagi."
"Ya, mungkin benar"
"Kenapa?"
"Saya mulai berpikir, saya harus belajar untuk membela dan menjaga diri sendiri. Karena dalam hidup ini tak selamanya ada orang-orang yang akan selalu menjaga saya."
"Kamu berubah!!"
"Apakah itu salah?"
Tak ada jawaban lagi setelah pertanyaan itu....

Kadang perkataan sekasar apapun jauh lebih baik daripada ini. Sungguh, saya benci jika kamu mulai diam dan menggantungkan dialog-dialog yang terucap...

Sabtu, 27 Februari 2010

Ia yang (Masih) Menentang Untuk Pergi

Namanya keraguan, ia pasti pernah bersemayam di hati setiap manusia, walaupun hanya setitik. Kadang kala ia begitu kejam, menyiksamu dengan sejumlah besar kegamangan. Sesuatu yang membuatmu sulit tidur, tidak nafsu makan, cepat lelah dan badanmu menjadi lemah. Mungkin mirip seperti Frank Sinatra ketika kena salesma. Biasanya ia akan menjumpaimu ketika kau berada dipersimpangan jalan. Persimpangan jalan yang membingungkanmu karena kau terlalu banyak menimbang hal-hal yang mungkin kau pertaruhkan. Ia makin menyesaki keyakinan yang telah kau persiapkan sebelumnya. Bahkan kadang ia mendesak keyakinanmu, membuatnya menciut lalu menjadi sesuatu yang akhirnya kau lupakan. Dan BOOOOOOOOOOOOOOOOMMMMMMMMM!!! Hilang sudah keyakinanmu yang dulu. Keraguan bisa menjadi begitu hebat, bukan?

Jika keraguan bisa memesan kartu nama, mungkin akan tertulis begini di kartu namanya :
Nama : KERAGUAN
Alamat : HATI KECIL SETIAP MANUSIA
Telepon : 081-keraguan-9992

Kau lihat itu? Ia tinggal di hati kecilmu. Ia ada di sana, atau setidaknya pernah ada di sana. Walaupun kau bisa saja mati-matian menyangkalnya. Tapi ia menetap di hatimu. Tak bisa kau usir dengan setumpuk penyangkalan dan apologi yang kau susun macam beberapa penghuni parlemen di negerimu.

Dan akan kah kau menyesalinya? Menyesali keyakinanmu yang kini telah menguap? Atau mungkin kau malah mensyukurinya? Berterima kasih kepada keraguan karena ia telah menyelamatkanmu dari keyakinan yang salah. Lalu apa makna keraguan itu? Harus kah ia diidentikan sebagai sesuatu yang buruk atau baik? Atau kah sebenarnya keraguan adalah hal yang abstrak? Bagaimana jika keraguan itu tidak abstrak, tetapi ia hanya sesuatu yang absurd?

Keraguan itu tengah menggentayangi pikiranku. Ia masih memberontak untuk berdamai dengan keyakinan yang telah kuciptakan sebelumnya. Hidup ini rasional, dan suatu keyakinan bisa saja salah. Aku masih mencoba merasionalkan keduanya, keyakinan dan keraguan tersebut (harus kuakui kadang keduanya bisa menjadi begitu sialan).

Ia mengahntui otakku sejak aku menimbang-nimbang untuk meninggalkan kalian, kawan-kawan yang sangat berarti bagiku. Mungkin kalian bertanya mengapa aku ingin pergi, tapi bisa saja sama sekali tak bertanya-tanya. Memangnya siapa aku ini? Memangnya aku cukup layak untuk memancing pengatur pusat kesadaran kalian mempertanyakan kenapa aku ingin pergi. Kalian tahu kawan? enam puluh persen komunikasi manusia dilakukan secara nonverbal. Baik itu lewat tulisan atau body language. Itu sebabnya terkadang orang yang verbalnya sangat buruk dapat menulis dengan luar biasa baik. Konon penulis bernama Muhiddin M Dahlan pun begitu. Mungkin itu salah satu alasan kenapa aku sering tak pintar mengungkapkan apa yang ada di pikiranku.

Ada banyak alasan kenapa aku merasa tak dapat lagi melanjutkan kebersamaan ini. Aku menyadari banyak hal telah berubah. Semuanya tak seperti dulu. Tapi perubahan adalah realita. Aku memaklumi bila kini ada yang mulai terbuka topeng-topengnya. Topeng yang membiaskan benci menjadi senyum. Aku paham, dimana pun kita berpijak, akan selalu ada tatapan-tatapan mata yang tak ikhlas. Yang sebenarnya sangat tidak menginginkan kehadiranmu di hadapan kedua bola matanya.

Jika aku bicara masalaha pekerjaan yang kita lalui bersama, ada hal lain yang juga menumbuhkan keyakinan untuk hengkang itu. Manusia bukan makhluk soliter, ia makhluk yang selalu membutuhkan manusia-manusia lain. Begitu juga dengan dua jurnalis pemenang Pulitzer yang membongkar kasus Watergate. Sering kali mereka bersama-sama menghadapi reportase yang sulit dan deadline yang mengejar. Itu membuat tanda tanya-tanda tanya berterbangan di depanku. Jika mereka yang menang Pulitzer saja sering bekerja bersama, kenapa aku sering melakukan kerja jurnalis sendirian? Kenapa tak ada yang menemaniku? hanya memberikan sejumlah janji untuk menemani reportase, tapi realisasinya nihil.

Kadang aku sedih, kenapa justru teman dari persma lain yang mengantarku reportase? Apakah aku telah menjadi demikian “terbuang” diantara komunitasku sendiri? Kenapa aku “seperti” dibiarkan bekerja sendirian? Belum lagi persoalan bidang. Kenapa ????????????????????????????????????????????

Ada kah “kebersamaan” ini berarti banyak? Aku memberi tanda kutip pada kata kebersamaan karena aku jadi berpikir ulang, apakah ini sudah layak untuk dikatakan kebrsamaan? Apa kalian benar-benar mengenalku? Apa aku telah mengenal kalian luar-dalam? Bagaimana jika semuanya semu? Aku hanya merasa mengenal kalian dan kalian hanya merasa mengenalku. Tak sedikit pun aku meragukan pengorbanan kalian untuk semua yang pernah kita lalui, tapi kenapa semua cepat berubah? Kenapa tak seperti dulu lagi?

Kenapa? Kenapa banyak yang berubah dengan sangat cepat?

Saat itu lah aku sampai di persimpangan jalan, antara pergi atau tinggal. Dan ia yang bernama keraguan mencoba menghadang keyakinanku untuk pergi. Tapi sampai kapan ia mampu menahan? Aku sadar, jika aku pergi mungkin aku tak akan seberuntung ini lagi bisa bertemu dengan orang-orang luar biasa seperti kalian. Tapi mungkin akan ada saat dimana aku akan mengayunkan langkahku untuk beranjak. Dunia selalu penuh dengan kemungkinan, kawan. Apa pun bisa berubah. Seperti senja yang bertukar dengan malam. Ketertarikanku pun mulai berubah, aku mulai menoleh kepada sastra, meskipun belum berpaling dari jurnalisme. Aku sedih, kadang jurnalisme membuatku merasa begitu sendirian ketika aku melakukan kerja-kerja jurnalis.

Ia yang bernama keraguan masih berdiri di sana. Masih menentang keyakinanku untuk menjauh dari ruangan berkarpet biru itu. Apakah keyakinanku untuk pergi itu salah? Atau keraguan yang menentang si keyakinan yang salah? Kenapa banyak hal hanya diukur sebagai salah-benar?

Minggu, 10 Januari 2010

Hasil Hunting Foto di Kota Gede, Yogyakarta

Berikut ini beberapa hasil jepretan saya ketika hunting foto di Pasar Legi Kota Gede bersama teman-teman Lembaga Pers Mahasiswa Himmah. Semua foto ini diambil dengan meminjam kamera milik seorang teman karena saya tidak mempunyai kamera sendiri. Saya menyukai genre fotografi jurnalistik. Saya masih belajar fotografi jurnalistik, maaf jika masih ada kekurangan :D



Suasana di depan Pasar Legi Kota Gede Yogyakarta




Kuli angkut di pasar




Menyenangkan anak




Transaksi hari ini




Uang hasil berdagang




Angkut dari motor




Membeli pisang




Pedagang buah

Dari Lautan Hingga Kaliurang













Christian Awuy tak pernah menduga kehidupannya akan menjadi seperti sekarang. Karirnya di bidang pelayaran yang ia geluti selama enam belas tahun sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang tengah ia tekuni sekarang.

Mariyadi, petugas Taman Wisata Kaliurang memberi rekomendasi kepada kami. “Kalau mau dapat banyak informasi tentang wisma atau vila di Kaliurang, coba minta informasi sama pak Christian Awuy. “ Lebih lanjut, pria berkumis tebal dengan rambut yang mulai beruban itu menjelaskan di mana kami bisa bertemu Christian Awuy. Ia bisa ditemui di wisma yang dikelolanya, Vogel Youth Hostel.

Kata Mariyadi lagi, selain sebagai pengelola Vogel, Christian Awuy juga ketua Asosiasi Perhotelan Kaliurang (ASPEK). Letak Vogel tidak jauh dari Taman Wisata Kaliurang, sekitar delapan meter ke selatan. Bangunan hostel itu bersebelahan dengan warung Poci, warung kopi yang ramai dikunjungi saat malam hari.

Hostel itu dibangun dengan arsitektur gaya Belanda, dengan lebar pintu dan jendela sekitar satu meter serta dinding yang tebalnya sekira 30 sentimeter. Namun, unsur-unsur Keraton Jogjakarta juga nampak menghiasi Vogel. Terutama pada kayu-kayu jendela dan pintu yang dicat hijau-kuning. Sangat khas Keraton Jogjakarta. Luas tanahnya kurang lebih 3000 meter persegi, dengan luas bangunan antara 600 meter persegi. Hostel juga dilengkapi dengan restoran yang menyediakan fasillitas hot spot area.

Kami menemui Christian Awuy di ruang kerjanya. Ia tengah duduk di balik meja kerja sambil menekuri setumpuk kertas dihadapannya. Ruangan itu berbentuk persegi dengan ukuran sekitar 4x4 meter, terletak di dekat pintu samping Vogel. Berbagai barang menyesaki ruang kerja Awuy. Ada meja kerja di sudut ruangan, dipenuhi dengan banyak plakat dan tumpukan kertas. Dua buah Computer Personal Unit (CPU) ikut mengisi ruangan, satu di samping meja kerja, satu lagi di sudut lain. Tiga kursi warna abu-abu dan sebuah meja panjang yang digunakan untuk menerima tamu terletak di depan meja kerja Awuy.

Plakat-plakat, sertifikat, penghargaan dan foto yang mengisahkan masa lalu serta perjalanan karir Awuy mendominasi dinding ruang kerjanya. Dua sertifikat yang dianugrahkan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) menjadi bukti prestasi Auwey.

Awuy meluangkan waktunya untuk menerima kami. Ia berpakaian serba hitam. Mulai dari celana panjang, kemeja lengan panjang, topi, juga sepatu. Kulitnya yang putih nampak kontras dengan pakaian serba hitamnya. Perjalanan waktu yang dilalui pria asal Sulawesi itu menyisakan guratan keriput halus di wajahnya.

Awuy menuturkan pengalaman-pengalaman yang telah ia lalui sambil duduk bersandar di punggung kursi abu-abu. Jabatannya sebagai ketua ASPEK tidak menyurutkan usahanya untuk tetap mengelola Vogel, yang telah ia kelola sejak tahun 1983. Pria berusia 63 tahun itu mengaku tidak pernah menduga bahwa kehidupannya akan seperti sekarang, menjadi pengelola hostel dan berkecimpung di dunia pariwisata pada umumnya.

“Padahal dulu saya seorang pelaut. Saya berkecimpung di pelayaran selama 16 tahun. Sudah mengelilingi banyak negara di lima benua,” katanya.

Perkenalannya dengan dunia pariwisata berawal secara tidak terduga pada 1983. Ia memutuskan untuk berhenti menjadi pelaut setelah tiga kali mengalami kecelakaan kapal. “ Saya pernah tenggelam tiga kali di laut karena kapal yang saya tumpangi karam. Kecelakaan terakhir terjadi ketika saya berlayar ke Filipina. Saya bersama sekitar 20 orang awak kapal lainnya terombang-ambing selama 46 jam di perairan Filipina. Sampai akhirnya diselamatkan oleh kapal Amerika dan dibawa ke rumah sakit di Manila.”

Kecelakaan terakhir itu membuatnya berpikir untuk menyudahi karir sebagai pelaut. Hal itu diperkuat dengan pertemuan secara kebetulan dengan peramal Cina tua di Glodok, Jakarta. Saat itu ia sedang berjalan-jalan, tiba-tiba seorang peramal tua berjenggot panjang memanggilnya. Awuy menghampiri si peramal. Sambil memeriksa garis tangan Auwey, peramal itu mengatakan sebaiknya Awuy berhenti dari pekerjaannya. Jika ia tidak berhenti, ia bisa mengalami kecelakaan yang lebih parah. Awuy terkejut. Ia tak habis pikir bagaimana peramal itu mengetahui kecelakaan-kecelakaan yang pernah dialaminya.

Kebetulan, kakak perempuannya yang tinggal di Jogjakarta menawarkan pekerjaan di bagian administrasi sebuah perusahaan konstruksi milik suaminya. Awuy menyetujui tawaran itu. Singkat cerita, ketika perusahaan konstruksi itu membangun bendungan Kalikuning, Awuy ditugaskan mengawasi pembangunan tersebut. Selama menjadi pengawas, dia difasilitasi kamar di Hotel Joyo, yang jaraknya sekitar 8 meter dari Vogel. Dari situ, ia sering bertemu dengan gadis keturunan Jepang bernama AM Masako, kasir restoran di Vogel yang kelak menjadi istrinya.

Pria kelahiran Manado itu juga menuturkan latar belakang kepemilikan Vogel. Vogel dibangun pada masa pemerintah kolonial Belanda. Memasuki era penjajahan Jepang, ada seorang tentara Jepang bernama Yukithosi Tanaka yang dikirim ke Yogyakarta. Agaknya Tanaka berbeda dengan tentara-tentara Jepang lainnya. Ia jatuh cinta pada Indonesia. Bahkan, ia berbalik membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kelak Tanaka pun mengganti namanya menjadi Yukithosi Tanaka Abdul Rosid sebagai wujud kecintaannya pada negeri ini. Mungkin ia seperti Laksamana Maeda, yang menyediakan rumahnya untuk tempat pengetikan naskah proklamasi. Mereka sama-sama berperan dalam berdirinya republik ini.

Selepas kemerdekaan Indonesia, Radjiman selaku perdana menteri pertama Indonesia memberi Tanaka sebuah vila. Sebagai bentuk terima kasihnya kepada Tanaka yang telah berperan menyokong lahirnya negara ini. Radjiman berpesan, vila itu hanya boleh dikelola oleh Tanaka dan keluarganya. Vila tersebut bernama Vogel.

Setelah menikah dengan Masako,Tanaka selaku ayah mertua Awuy memintanya melanjutkan pengelolaan Vogel Youth Hostel. Awuy menyanggupi. Apalagi, setahun setelah pernikahannya, perusahaan konstruksi tempat ia bekerja bangkrut.

Awuy menekuni profesinya mengelola Vogel. Karena Vogel adalah bangunan berarsitektur Belanda, ia memfokuskan segmen pasarnya pada orang asing. “Orang asing lebih suka bangunan yang tua dan unik. Kalau orang kita malah takut dengan bangunan tua. Takut penampakkan katanya,” tuturnya sambil tersenyum.

Untuk mendongkrak promosi wisata Kaliurang, Awuy berinisiatif menciptakan “sensasi”. Ia membuat ampyang ( sejenis makianan tradisional) sepanjang 100 meter, jadah tempe berdiameter lima meter dan wajik seberat satu ton. Usaha itu diganjar dengan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia.

Dengan promosinya yang telah merambah segmen internasional, Vogel telah menjaring banyak turis asing, yang tentunya berimbas pada penerimaan devisa Negara. “Sejak tahun 1983 sampai sekarang, Vogel pernah dijadikan tempat menginap sekitar 700 ribu wisatawan asing.” Namun, Awuy menyangkan pemerintah kurang memperhatikan bangunan-bangunan tua seperti Vogel.

Walaupun wawancara sempat terpotong beberapa kali karena ada oang-orang yang berkepentingan untuk bertemu Awuy, ia tetap menerima kami dengan senyum yang sesekali terukir di wajahnya. Bebrapa kali dia meminta maaf dengan sopan bila terpaksa harus meninggalkan kami sejenak untuk menemui orang lain.

Awuy pun menuturkan, ia berharap salah satu dari dua orang putranya berkenan meneruskan pengelolaan Vogel. Ia juga berkeinginan untuk mempertahankan bentuk asli bangunan hostel itu. “Vogel ini sudah berdiri sejak zaman Belanda, saya dan keluarga tetap ingin mempertahankan keaslian bangunannya,” tuturnya mengakhiri percakapan siang itu.


Vogel Youth Hostel yang sedang digunakan oleh mahasiswa UPN Yogyakarta


Reportase bersama Sulistyo Wijanarko
Foto-foto oleh Ikhwan