Minggu, 16 Oktober 2011

Terkadang Dalam Hidup

Terkadang dalam hidup, aku suka beranganangan bisa kembali ke masa lalu : mengubah keadaan, bersikap lebih dewasa, memperbaiki laku, menepis salah, menghindari namanama...

Minggu, 02 Oktober 2011

Sabtu, 17 September 2011

Setelah Lima Tahun

Pasca gempa tahun 2006, sejumlah orang menjadi penyandang cacat di Kabupaten Bantul.

Selasa, 13 September 2011

Sekitar jam tujuh pagi Ika memanggilku dari luar kamar. Dia teman sekos sekaligus teman seangkatan di fakultas kedokteran. Aku sudah bangun sejak tadi, tapi masih malas beranjak dari kasur. Kepalaku sedikit pusing karena semalam aku sulit tidur lagi. Akhir-akhir ini aku memang sulit tidur. Sedang "galau".

Mendengar namaku dipanggil lebih dari sekali, aku pun bergegas bangkit dari kasur dan membuka pintu kamar. Ika masuk ke kamarku dan bertanya apa aku ada acara hari ini. Dia minta ditemani ambil data untuk tugas akhir. Tugas akhir Ika tentang orang-orang penyandang cacat, atau yang biasa disebut difabel. Aku tidak menanyakan detail tugas akhirnya. Yang kutangkap dari penjelasan Ika, dia minta ditemani ke acara syawalan sebuah kelompok difabel di kantor LSM Sapda (Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak). Kantor Sapda berada di Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Aku bersedia menemani Ika. Aku pun segera mandi dan bersiap pergi.

Usai sarapan bersama, kami berangkat jam setengah sembilan. Singkat cerita, ternyata acara syawalan tidak diadakan di kantor Sapda. Syawalan diadakan di rumah salah seorang difabel di Jetis, Bantul. Kami pun berangkat mengikuti mas Miko dan mbak Juju (mereka pegiat di Sapda) ke Jetis.

Perjalanan yang kami tempuh cukup jauh. Panas matahari terasa menyengat. Tapi, naik motor dibawah terik matahari jauh lebih baik daripada kehujanan. Akhirnya kami sampai di sebuah desa. Jalan desa yang kecil mengingatkanku pada jalan ke rumah nenek di Secang, Magelang. Mirip juga dengan jalan desa di rumah mama di Madiun. Feel like home. Tak lama kemudian, kami sampai di rumah yang menjadi tempat acara syawalan.

Ada jalan dari plester semen yang menghubungkan teras rumah dengan jalan desa. Jalan plester semen itu untuk memudahkan pengguna kursi roda. Teras rumah itu berlantai keramik warna oranye. Di rumah sudah ada sekitar 20an orang, sebagian besar perempuan paruh baya. Semua duduk lesehan di atas tikar. Ada yang duduk di dalam rumah dan ada yang di teras. Ibu-ibu yang berkursi roda duduk di teras. Rumah itu milik mbak Yuni. Ia salah satu dari perempuan yang duduk di kursi roda.

Seorang kyai berceramah dengan Bahasa Jawa dalam acara syawalan. Ada juga sambutan-sambutan dan acara ramah tamah. Disela-sela sambutan, Ika menunjukkan kuesioner penelitiannya. Dia bilang, sebagian kuesioner yang sudah diisi tidak menuliskan waktu timbulnya penyakit. Oleh karena itu, dia bermaksud mewawancari ibu-ibu difabel secara langsung. Tentunya, wawancara disesuaikan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Aku menyanggupi bantu Ika mewawancarai ibu-ibu usai syawalan.

Setelah acara usai, mas Miko memperkenalkan kami sebagai mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan penelitian. Ibu-ibu itu sangat ramah pada kami. Mereka tidak keberatan diwawancarai.

Seorang ibu yang kuwawancarai mengeluhkan kakinya sering nyeri jika kedinginan. Ia pun menunjukkan kakinya yang juga sering bengkak. Aku memeriksa kakinya. Karena bengkak, kaki kanan tampak lebih besar daripada kaki kiri. Kakinya lumpuh akibat patah tulang belakang saat gempa 2006. Ia menggunakan kursi roda untuk menunjang aktifitas sehari-harinya.

Aku memeriksa kaki ibu paruh baya yang lain. Ia juga menggunakan kursi roda. Penyebab lumpuhnya sama : patah tulang belakang waktu gempa. Tubuhnya kurus dan kulihat kakinya mengecil, sudah atrofi (penyusutan jaringan atau organ karena tidak digunakan dalam jangka waktu lama).

Aku sempat melihat Ika mewawancarai ibu yang menggunakan tangan palsu. Ibu itu mengaku sering pusing. Tekanan darahnya pernah mencapai 180 mmHg. (Ibu itu hanya ingat tekanan sistoliknya.) Tapi, sudah lama sekali ia tidak periksa tekanan darah lagi. Ia juga mengeluhkan dua gejala yang mirip gejala diabetes melitus ; banyak makan dan sering haus. Saat Ika menyarankannya periksa ke puskesmas, ibu itu cuma tersenyum sambil bilang ia tidak punya uang. Aku jadi menyesal tidak membawa alat pengukur kadar gula darah dan sphygmomanometer (alat untuk mengukur tekanan darah). Perjalanan ke Jetis ini memang diluar dugaanku.

Semua perempuan yang kuwawancarai mengatakan, mereka tidak bisa bekerja lagi sejak menjadi difabel. Sebelum gempa, ada yang bekerja jadi pedagang, karyawan dan sebagainya. Pun ada ibu berkursi roda yang curhat pada kami. Umurnya sekira 60 tahun. Ia hidup sendiri di rumahnya (entah kemana suami dan anak-anaknya). Ia bilang, ia sering kesepian. Acara kumpul-kumpul macam syawalan selalu menghibur hatinya. Ia masih punya saudara yang berumah tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun, saudaranya jarang menjenguk. Padahal ia sangat berharap bisa sering dijenguk. Ia pun ingin sering main ke rumah saudaranya itu. Tapi, di rumah saudaranya tidak dibangun jalan plester semen untuk kursi roda. Itu jelas menyulitkan.

Aku baru tahu kalau kondisi sebagian masyarakat Bantul berubah sedrastis ini pasca gempa 2006!

Sebelum ibu-ibu itu pulang, Mas Miko membagikan beras. Masing-masing menerima satu kantong plastik beras. Entah berapa kilogram isinya.

Pembagian beras itu membuatku sulit untuk tidak berpikir kalau mereka adalah korban negara. Ya, korban negara. Aku enggan menggunakan istilah "kurang mampu", "kurang beruntung", atau "prasejahtera". Menurutku, tidak ada yang tidak sejahtera kalau negara becus mengurus rakyatnya. Negara ini memang pahit. Korupsi "dibiarkan", birokrasi tidak efektif dan jadi sumber pemborosan. Kalau temanku bilang, "ini negeri tara lutju." Polisi pamong praja bisa secara brutal menggusur pedagang kaki lima yang tidak punya izin berjualan. Sementara supermarket atau apartemen yang tidak punya izin Amdal tak pernah ditindak. Uang jadi Tuhan tanpa firman. Sungguh tidak lucu!

Sebelum kembali ke Wirobrajan, mas Miko mengajak kami ke rumah seorang yang mas Miko sebut pengusaha muda. Rumahnya cukup besar. Beratap tinggi dan sejuk. Dinding rumahnya tampak baru dicat.

Pengusaha muda itu seorang laki-laki berusia sekitar 28 tahun. Jalannya pincang. Aku berspekluasi itu juga akibat gempa. Ia pengusaha makanan kecil dan katering. Mulai dari kue basah sampai cemilan-cemilan. Dari ceritanya, makanan kecil dan kateringnya sering dapat pesanan. Usahanya cukup sukses.

Aku seperti melihat ada sisi lain di sini. Diantara orang-orang yang jadi difabel, masih ada semangat yang jauh dari keputusasaan...

Pengusaha muda itu bercerita, ia pernah bermaksud mengajarkan ketrampilan membuat makanan kecil pada ibu-ibu difabel binaan Sapda. Namun, mereka tidak bersedia. Mereka takut menggunakan kompor gas. Sejak jadi difabel, kemampuan gerak mereka terbatas. Takut tidak bisa lari kalau kompornya meledak.

Setelah cukup lama ngobrol bersama, kami pamit pulang. Selama perjalanan pulang aku terus teringat Che Guevara. Perjalanan keliling Amerika Selatan telah mengubah Ernesto Guevara "menjadi" Che Guevara. Ernesto Guevara seorang dokter yang akhirnya memimpin revolusi di Amerika Selatan.

Aku sudah baca The Motorcycle Diaries, catatan perjalanan Che selama keliling Amerika Selatan. Bersama kawannya, Alberto Granado, Che mengarungi perjalanan sejauh 12.000 km. Di tempat-tempat yang ia lewati, Che melihat banyak orang jadi miskin akibat pemerintah yang tidak becus urus rakyat. Ketidakadilan hidup di sana-sini. Pengalamannya selama perjalanan itu kelak menjadi "pemantik" yang membuat Che memimpin revolusi.

Che juga menuliskan pengalamannya ketika mengunjungi pasien-pasien kusta, yang ditempatkan di semacam rumah sakit-rumah sakit khusus. Pasien kusta ditempatkan di rumah sakit khusus -jauh dari pemukiman penduduk- karena Kusta penyakit yang mudah menular. Beberapa pasien kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Pasien-pasien di sana senang ketika Che mengunjungi mereka. Che yang berani menjabat tangan mereka tanpa sarung tangan, obrolan hangat, dan perhatian dari Che sangat berarti bagi mereka.

Beruntunglah orang-orang yang mau dan sempat melakukan banyak perjalanan. Aku mengamini bahwa perjalan yang dilakukan seseorang bisa mengubah hidupnya. Ada peristiwa baru dan orang baru yang pasti ditemui dalam setiap perjalanan. Kedua hal yang bisa mengubah cara berpikir dan cara seseorang memandang kehidupan.

Perjalananku ke Bantul ini membuatku melihat hal baru yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Betapa sebuah bencana alam bisa membawa perubahan yang permanen. Awalnya pasti berat bagi mereka untuk menerima kenyataan sebagai orang difabel. Banyak hal yang tidak lagi sama.

Aku pun merenungkan perjalanan-perjalanan lain yang pernah kutempuh. Tentu saja tidak sejauh Che. Aku sadar aku tidak akan pernah sehebat Che. Kebanyakan perjalananku hanya di lingkup kecil. Tapi aku tak akan pernah lupa pengalaman-pengalaman dari setiap perjalan itu. Sekelumit kisah perjalanan dari Kulonprogo yang memanas karena persoalan tambang pasir besi, bertandang ke sebuah gang dimana ada keluarga yang anak balitanya mengalami gizi buruk di Sleman, penggusuran pedagang kaki lima, balita Marasmus (salah satu bentuk kekurangan gizi yang buruk) yang dimanfaatkan untuk mengemis di Sunmor (singkatan dari sunday morning, semacam pasar dadakan yang ada di sebuah universitas setiap Minggu pagi) dsb.

Sedikit perjalanan-perjalanan itu telah membentuk mimpi-mimpiku. Kelak, aku tidak memimpikan jadi dokter di klinik mewah yang pasien-pasiennya adalah "orang-orang wangi". Aku ingin berada diantara "orang-orang kecil", sekalipun itu di daerah terpencil. Mungkin itu terdengar sok-sokan. Tapi begitulah aku, cuma seorang pemimpi kecil. Dan semoga Tuhan menjaga mimpi-mimpi itu...




Minggu, 11 September 2011

Kamu Ingin Bertemu Tuhan

Dengan jari telunjuk, kamu menggambar wajah tersenyum di permukaan air kolam. Tapi gambarmu segera hilang begitu kamu mengangkat jari dari kolam. Cipratan air mancur di tengah kolam menimbulkan riak-riak kecil. Kamu kecewa karena tidak berhasil menggambar wajah tersenyum. Padahal kamu ingin sekali ada sebentuk senyum yang menghiasi kolam.

Lalu kamu memutuskan menceburkan diri ke kolam. Kamu menyelam sampai dasar kolam. Sialnya, tubuh kurusmu membuat kamu tidak bisa menyentuh dasar kolam. Kamu menghadapkan tubuhmu ke atas. Sambil tersenyum, kamu memandang langit dari dasar kolam. Warna langit yang biru cerah membuatmu merasa senang. Awan-awan tampak selembut kapas.

Tapi bukan warna langit atau segarnya air kolam yang membuatmu bahagia. Kamu merasa sangat bahagia karena berhasil menghadirkan sebuah senyuman di kolam itu. Senyuman yang berasal dari bibirmu sendiri.

Kamu tetap tersenyum meski kepayahan menahan nafas. Kamu tidak takut mati kehabisan nafas. Mati adalah momen bagi manusia untuk bertemu Tuhan. “Dulu Tuhan sudah memilih momenNya untuk menciptakanku. Kini aku sendiri yang ingin menentukan kapan waktuku bertemu Dia lagi. Dan aku sudah memutuskan, sekaranglah waktunya,” katamu dalam hati. Bagimu sekaranglah waktu yang tepat untuk bertemu denganNya.

Kamu merasa sudah cukup untuk hidup. Bukan karena tak ada lagi yang mesti diperbuat. Kamu hanya merasa sudah cukup. Manusia sering terjebak dengan dunia karena tidak mengenal rasa cukup. Dan di dunia ini, kamu tidak ingin terjebak.

Rambutmu yang melayang-layang dalam air membuatmu terlihat makin cantik. Kamu nampak seperti putri dalam dongeng anak perempuan. Ah, tapi hidup tidak seperti kisah manis dalam dongeng para gadis kecil itu. Pada akhir cerita sang putri selalu hidup bahagia selama-lamanya. Bagimu menjadi bahagia atau tidak adalah sebuah pilihan. Pilihan itu lalu menuntut manusia untuk setia memperjuangkan apa yang telah dipilih.

Namun, sekarang kamu tidak perlu memperjuangkan apa-apa lagi. Perjuanganmu sudah cukup.

Orang-orang yang melihatmu dari atas kolam tidak berbuat sesuatu. Mereka yakin kamu baik-baik saja karena kamu terus tersenyum. Beberapa bahkan membalas senyummu. Bahkan ada yang melambaikan tangan padamu.

Kepalamu mulai pusing. Pandanganmu juga terasa kabur. Sayup-sayup kamu dengar ada orang baca puisi. Suara itu makin lama makin jelas. Dalam pandanganmu yang kabur, kamu melihat sesosok pria berpakaian serba putih. Ternyata ia yang sedang baca puisi. Tangan kanannya menggenggam secarik kertas bertuliskan sajak-sajak.

“…Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan...”

Senyummu makin mengembang dengar sajaknya Rendra itu. Kamu sepakat bahwa bibirmu yang tersenyum itu sedang menyatakan sikapmu. “Sikap kita untuk Tuhan. Ahai, aku makin tak sabar bertemu denganMu. Aku ingin memelukMu kalau kita bertemu nanti. Berterima kasih untuk semua yang telah Kau beri. Berterima kasih bahwa aku bisa merasa cukup,” batinmu.

Pria berpakaian serba putih itu membaca sajak lain :

“…ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu….

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!”

Kamu mengenali sajak itu sebagai milik Chairil Anwar. Kamu tertawa dalam hati. Tak lama lagi mungkin kamu juga akan bertemu Chairil. Mungkin sekarang ini ia sedang duduk di bawah pohon apel. Menghisap rokok sambil baca puisi. Dari tempat yang jauh, Tuhan mendengarkan Chairil.

Pria itu mulai membaca sajak yang lain lagi :

“…dan antara ransel-ransel kosong

dan api unggun yang membara

aku terima itu semua

melampaui batas-batas hutanmu,

melampaui batas-batas jurangmu

aku cinta padamu Pangrango

Karena aku cinta pada keberanian hidup”

Itu sajak yang sudah sangat akrab di telingamu. Temanmu yang penyair sering bacakan sajak karya Soe Hok Gie itu untukmu. Setiap kali temanmu bacakan itu sajak, kamu selalu membayangkan Mandalawangi dan Pangrango. Pun kamu bayangkan bagaimana abu jenazah Soe Hok Gie pernah bertaburan diantara bunga edelweis di lembah Mandalawangi. “Gie pasti merasa beruntung karena ia mati muda. Sedangkan aku merasa beruntung karena aku bisa memilih menemui Tuhanku pada usia muda,” lagi-lagi kamu berkata dalam hati.

Sekarang kamu sudah benar-benar kehabisan nafas. Refleks, kamu menarik nafas. Tapi yang terjadi ialah kamu merasakan aliran air masuk ke saluran pernapasanmu. Sakitnya luar biasa! Paru-parumu mulai terisi air.

Hipoksia. Kuku dan sekitar bibirmu berwarna kebiruan. Pusing makin menghantam kepalamu. Kamu merasa kesadaranmu mulai menurun.

Akan tetapi kamu masih saja tersenyum. Tetap saja tersenyum.

Antara sadar dan tidak, kamu merasakan pria yang baca sajak tadi membelai rambutmu. Akhirnya kamu mengerti siapa pria itu. Dia malaikat yang akan mengantarkanmu bertemu Tuhan.

Kamu memejamkan mata. Kesadaranmu akhirnya lenyap.

Ketika membuka mata, kamu tidak lagi berada di kolam. Kamu berada di kebun apel. Tuhan telah menyiapkan kebun apel untukmu. Tuhan sudah lama berkebun untukmu...

Jumat, 19 Agustus 2011

Desentralisasi Kesejahteraan dan Kemudahan Akses Layanan Kesehatan

KONFIGURASI politik nasional sangat mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kurun waktu tertentu. Lahirnya orde baru yang sarat dominasi militer, dengan ototarianismenya telah memberikan perubahan yang signifikan dalam hubungan antara pusat dan daerah. Sentralisasi kekuasaan pun tak terelakkan.

Penerapan hubungan sentralistik antara pusat dan daerah oleh orde baru menimbulkan efek double-negative. Akibat pendekatan yang serba terpusat, implementasi sentralisasi mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemerintah dan masyarakat daerah. Di sisi lain, hal tersebut menjadi beban berat bagi pemerintah pusat karena tanggung jawab terhadap perencanaan dan pengendalian pembangunan -baik pembangunan nasional maupun daerah- ada di pundak pemerintah pusat.

Pasca jatuhnya Jendral Suharto sang penguasa orde baru, berbagai arus perubahan datang pada segala aspek, tidak terkecuali pada hubungan pemerintah pusat dan daerah. Reformasi total pun menyentuh hubungan pusat-daerah yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Tujuannya jelas, menghapuskan efek double-negative dari hubungan sentralistik tersebut.

Hubungan yang bersifat desentralistik bermula dari yang tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Definisi otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Kedua undang-undang tersebut lalu direvisi dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan pengertian tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu.

Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yaitu meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.

Pratikno, Dekan FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan bahwa otonomi daerah harus mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah nasional. ”Misalnya ketimpangan daerah, percepatan pembangunan, dan pemerataan pembangunan, dan bahkan menjaga kesatuan. Sekaligus juga menyelesaikan permasalahan di internal daerah. Jadi memahami bagaimana demokrasi di daerah, keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat. Oleh karena itu, desain dari desentralisasi yang mengakibatkan otonomi seharusnya tidak semata-mata menyelesaikan permasalahan daerah, tetapi juga menyelesaikan permasalahan nasional sekaligus,” katanya.

Layaknya gading yang selalu retak, terdapat kelemahan-kelemahan dalam penerapan otonomi daerah. Menurut Abdul Gaffar Karim, dosen Pascasarjana UGM, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, salah satu kekurangannya adalah beban politik yang timbul di daerah. “Otonomi daerah menimbulkan banyak sekali beban-beban politik. Orang awam akan cenderung menjadikan otonomi daerah sebagai peluang politik baru di tingkat lokal. Dari segi kesejahteraan rakyat, implementasi otda masih jauh, tapi dari segi pendidikan politik prosesnya benar-benar terjadi di lokal.”

***

TERCIPTANYA kesejahteraan rakyat adalah tujuan sosial ekonomi dari otonomi daerah. Hak-hak dasar warga negara harus terpenuhi untuk menciptakan kesejahteraan. Konstitusi telah menjamin hak-hak dasar warga negara. Ada delapan hak dasar yang tertuang dalam konstitusi ; hak rakyat memperoleh pendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan memperoleh lingkungan yang sehat dan bersih, hak masyarakat miskin, penganggur, dan anak terlantar, serta jaminan sosial untuk kaum lanjut usia.

Era otonomi daerah harus dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan oleh pemerintah kepada warga negara untuk tercapainya tujuan di atas. Sayangnya otonomi daerah yang telah berlangsung belum memberi perubahan yang signifikan. World Development Report 2004 menyatakan bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses orang miskin dan hal ini memicu terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

“Tujuan pemerintah pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan rakyat. Selama ini belum tercapai, maka pemerintahan itu belum bisa dinilai berhasil, “ kata Abdul Gaffar Karim. Ia menambahkan, kendala tercapainya kesejahteraan rakyat adalah alokasi anggaran. Setiap daerah memiliki persoalan sendiri-sendiri. Sementara yang terjadi selama ini proses anggaran tidak sepenuhnya diletakkan pada pencapaian kepentingan daerah, malah banyak menguntungkan elit-elit politik saja.

Sudah menjadi kewajiban negara untuk mengambil peran sentral dalam memberi pelayanan sosial kepada rakyat. Konsep klasik pelayanan sosial terdiri atas lima hal dasar : kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Welfare state adalah sebutan bagi peran sentral negara terhadap lima hal tersebut.

Kesehatan merupakan salah satu hak dasar -dan salah satu unsur welfare state- yang harus dipenuhi. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan sebuah bangsa.

Pembangunan kesehatan ialah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Akar masalah dari rendahnya status kesehatan masyarakat sampai saat ini adalah karena pembangunan kesehatan belum berada pada arus utama dari pembangunan nasional. Salah satu indikatornya nampak pada alokasi anggaran sektor kesehatan yang rendah.

Laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2000 menyatakan bahwa peranan dana sebagai salah satu masukan (input) sektor kesehatan sangat menentukan derajat kesehatan suatu negara. WHO telah merekomendasikan anggaran kesehatan minimal lima persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan TAP MPR No. 5/2003 menetapkan besarnya anggaran 15 persen dari total anggaran.

Menurut WHO, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu anggaran kesehatan minimal lima hingga enam persen dari total APBN suatu negara. Sementara untuk mencapai derajat kesehatan yang ideal butuh anggaran 15-20 persen dari APBN.

Realitanya, anggaran kesehatan belum memenuhi syarat minimal lima persen dari WHO, apalagi 15 persen menurut TAP MPR No. 5/2003. Pada 2008 pemerintah menganggarkan Rp 16 triliun dan meningkat menjadi Rp 19,3 triliun pada 2009. Tetapi jumlah tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh WHO. Kalau dilihat dari TAP MPR, angka yang harus digelontorkan jauh lebih besar lagi yaitu Rp 155,6 triliun. Angka itu sebesar 15 persen dari APBN 2009 yang besarnya Rp 1037 triliun.

Belanja kesehatan selama era pemerintahan sentralistik tidak pernah lebih dari lim persen. Namun, dalam era desentralisasi beberapa kabupaten dan kodya telah mengalokasikan lebih dari lima persen anggarannya untuk kesehatan. Beberapa daerah seperti Kabupaten Morowali, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Jembrana dan Kota Makassar sudah menggratiskan biaya berobat penduduknya.

***

BIAYA kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Dari penjelasan tersebut, biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut ; dari penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer).

Dari sudut pandang penyedia pelayanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk dapat menyelenggarakan upaya atau pelayanan kesehatan. Menurut definisi tersebut, biaya kesehatan menjadi persoalan pemerintah atau pihak swasta yang menyelenggarakan upaya kesehatan.

Sedangkan dari sudut pandang pemakai jasa kesehatan, biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan. Dalam batas-batas tertentu pemerintah berkewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan. Maka dari pengertian itu dapat disimpulkan bahwa biaya kesehatan menjadi permasalahan utama para pemakai jasa pelayanan kesehatan.

Permasalahan para pemakai jasa kesehatan menjadi pelik karena pembiayaan kesehatan di Indonesia masih menerapkan model pembiayaan klasik. Artinya, pembiayaan kesehatan banyak didominasi oleh model out of pocket, dimana masyarakat membayar jasa pelayanan kesehatan secara langsung dengan menggunakan uang dari sakunya sendiri. Sementara penyedia pelayanan kesehatan dibayar dengan sistem fee for service. Saat ini hampir 70 persen pembiayaan pelayanan kesehatan menggunakan model tersebut.

Model pembiayaan klasik menuai beberapa kelemahan. Pembiayaan akan sangat bergantung pada kondisi keuangan individu atau keluarga. Jika kondisi keuangan sedang sulit, akan timbul kecenderungan untuk tidak memanfaatkan layanan kesehatan. Model tersebut juga dapat merangsang pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memberikan pelayanan berlebihan dengan tujuan memperoleh tambahan keuntungan.

Berbicara tentang klasifikasi pembiayaan kesehatan di Indonesia, ada dua penggolongan untuk itu. Pertama, pembiayaan sektor publik, yang mencakup 25-30 persen dari pembiayaan kesehatan. Ini berasal dari anggaran belanja negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk di dalamnya pembiayaan melalui asuransi sosial seperti PT. Askes dan PT. Jamsostek. Kedua, pembiayaan sektor swasta, mencakup 70 persen dari total pembiayaan kesehatan di Indonesia. Ini meliputi pembiayaan langsung oleh pasien, asuransi swasta dan sumber-sumber lain.

Dengan model pembiayaan klasik dan sumber dana pembiayaan kesehatan di Indonesia yang sebgian besar berasal dari sektor swasta, tidak mengherankan bila perlu biaya tinggi untuk mengakses layanan kesehatan. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa desentralisasi belum sepenuhnya mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.

Selasa, 16 Agustus 2011

Jilbab dan Kehormatan Seorang Wanita

Saya menemukan esai menarik yang ditulis oleh Aufannuha Ihsani. Esai itu bisa juga dibaca di www.ekspresionline.com


Jilbab dan Kehormatan Seorang Wanita
oleh Aufannuha Ihsani

- Kepada Siti Nurjannah

Ada beberapa hal yang mesti saya sampaikan kepada sampeyan karena telah menulis opini yang bertujuan untuk “meluruskan” apa yang sudah saya tulis pada website ini. Yang paling utama, terima kasih dan terima kasih banyak. Sudah lama tulisan saya tak pernah ditanggapi orang lain. Orang terakhir sebelum sampeyan yang pernah mengomentari tulisan saya adalah petugas perpustakaan Madrasah Aliyah Ali Maksum di masa putih abu-abu dulu. Kritik saya dibalasnya dengan sebuah tulisan pula. Dan, hal-hal seperti ini akan sangat saya hargai.

Kendati begitu, saya menilai bahwasanya kritik yang sampeyan lancarkan pada saya tidak mencakup secara keseluruhan terhadap apa yang saya tuliskan. Karena, apa yang sampeyan tulishanyalah sebuah pelurusan terkait dua kalimat yang, menurut sampeyan, agak sedikit rancu untuk dituliskan. Saya menulis, “Terlebih, dalam Islam, tak ada hukum jinayat yang diberlakukan kepada orang-orang yang tidak menutup aurat mereka. Dan aurat, dalam tuntunan syar’i, hanya wajib ditutup saat sholat semata.”

Rupa-rupanya dua kalimat itu saja yang menjadi titik tolak buat sampeyan untuk menulis esai balasan, dan bukan tulisan secara keseluruhan. Sebab, jika sampeyan mau adil, barangkali mesti pula diberikan sejumlah argumentasi yang mendukung aksi panitia yang memprovokasi mahasiswa baru untuk membalik badan. Namun, sampeyan hanya fokus pada dua kalimat tersebut. Kalimat pertama yang saya tuliskan, sampeyan jelaskan dengan gamblang dan apik melalui sisi etimologis kata “jinayat”. Saya mengira tidak ada hal-hal yang berbau kritik dalam menyikapi kalimat pertama itu. Maka, apa yang sampeyan tulis merupakan kritik atas satu kalimat dari seribu kata yang saya tulis.

Diskursus soal jilbab dan aurat memang tak dapat dibahas lewat satu kalimat saja. Apa yang saya tulis di sana, kalau boleh berpledoi, adalah semacam kesimpulan dari apa yang saya rangkum dari bermacam bacaan dan wacana terkait tafsir dan studi-studi ilmu Al-Qur’an.

Baiklah, mari membincang jilbab dan aurat. Argumentasi yang sampeyan tuliskan dan mengutip berbagai macam ayat dan hadits untuk mendukungnya valid dan terpercaya. Namun, barangkali antara saya dan sampeyan memiliki pandangan berbeda dalam memahami Al-Qur’an. Seorang guru saya pernah berkata pada saya bahwa saya tak boleh kembali pada Al-Qur’an dan hadits. Yang benar, adalah kembali pada orang yang mengerti Al-Qur’an dan hadits. Saya menangkap makna dari ucapan beliau bahwasanya ayat-ayat yang dikandung dalam Al-Qur’an akan rancu bila diterjemahkan secara literer.

Ayat-ayat tak turun dengan sendirinya, melainkan ada sebab dan kejadian yang mendahuluinya sehingga turunlah ayat-ayat tersebut. Jika ayat-ayat tersebut dimaknai secara harafiah, misalnya pada ayat “Yadullahi fauqo aidiihim” (tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka), maka akan terasa keganjilan yang begitu akut. Tangan Allah? Kalau begitu, Allah punya tangan? Bukankah dengan demikian mengingkari doktrin Asy’ariyyah bahwasanya Tuhan itu mukholafatu lil hawaadits (berbeda dari makhlukNya)?

Penafsiran, dengan demikian, membutuhkan suatu kerja yang ekstra keras untuk memahami mengapa ayat-ayat tersebut turun. Istilah dalam ilmu tafsir memberikan nama buat hal yang satu ini: asbabun nuzul, sebab-sebab turunnya ayat. Dalam ayat-ayat yang menyinggung soal jilbab, hal ini pun tak lepas dari apa yang melatarbelakangi turunnya ayat tersebut.

Nasaruddin Umar pernah membahas diskursus soal jilbab ini dalam artikelnya yang dimuat di majalah Ulumul Qur’an pada tahun 1996. Ia adalah seorang staff pengajar UIN (ketika itu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang pada saat itu sedang menyelesaikan studi S3-nya. Dalam artikel berjudul “Antropologi Jilbab”, ia menjelaskan mengapa ayat-ayat yang membatasi ruang lingkup perempuan dalam berpakaian dan berkegiatan itu diturunkan.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas masalah dua surat yang sampeyan sampaikan, yaitu Al-Ahzab dan An-Nur. Sedangkan untuk surat Al-A’raaf tidak dibahas di sini karena kita bisa saja berdebat panjang soal “pakaian taqwa” yang dimaksud secara terminologis dan kontekstual, sehingga inti tulisan ini akan semakin kabur. Mengenai hadits, saya tak akan pula menyinggungnya, sebab hadits yang sampeyan paparkan merupakan hadits ahad, bukan hadits mutawattir atau masyhur. Menurut Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang Mufti Mesir, dalam pengertian yang shahih, hadits ahad hanya memiliki kekuatan untuk dijadikan tuntunan, anjuran, dan bukan penetapan suatu hukum. Tentu saja ada ulama’ lain yang akan menentang pendapat ini. Namun, marilah kita fokus terhadap penafsiran Al-Qur’an saja, yang kebenarannya tak dapat dibantah kendati penafsirannya boleh jadi beragam.

Al-Ahzab dan An-Nur merupakan surat-surat Madaniyyah. Dalam Studi Ilmu-Ilmu Qur’an karya Manna Khalil Al-Qattan, disebutkan bahwa surat-surat Madaniyyah adalah surat-surat yang diturunkan sesudah hijrah. Berarti surat-surat tersebut, kendati turun di Mekkah maupun Madinah, jika terjadi setelah hijrah, tetap dinamai surat-surat Madaniyyah.

Surat-surat Madaniyyah berbeda karakteristik dengan surat-surat Makkiyyah. Jika surat-surat Makkiyyah lebih banyak membahas soal keesaan Tuhan, maka surat-surat Madaniyyah lebih fokus pada soal hukum dan lain-lain yang mengikutinya. Soal jilbab dan penutupan aurat pun dimasukkan dalam kategori surat-surat Madaniyyah ini.

Beralih ke asbabun nuzul-nya, ayat-ayat yang menyoal jilbab dalam Al-Qur’an turun setelah ada fitnah terhadap Aisyah, isteri Nabi sendiri. Nasaruddin Umar mencatat bahwa apa yang terjadi saat itu merupakan suatu titik kulminasi dari keadaan umat Islam. Perang Uhud dan Khandaq telah usai, situasi di Madinah amat memilukan karena banyak janda dan yatim dari laki-laki yang syahid di medan laga, selain itu terdapat pula pertikaian intern di Madinah antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi. Belum lagi fitnah itu, yang digembor-gemborkan Abdullah bin Ubayy, bahwasanya Aisyah telah selingkuh dengan Shafwan, seorang sahabat Nabi.

Muhammad Husain Haekal mencatat peristiwa ini secara rinci dalam Sejarah Hidup Muhammad. Shafwan adalah seorang yang tampan dan tegap. Dalam ekspedisi Nabi ke Bani Al-Mushtaliq, Shafwan ikut serta bersama sahabat-sahabat Nabi yang lain. Aisyah turut pula dalam ekspedisi itu. Karena ia adalah ummul mu’minin, ia dinaikkan ke atas pelangkin (sejenis tandu). Sepulang dari ekspedisi tersebut, Aisyah yang sedang menunaikan hajat, tertinggal oleh rombongan. Para sahabat mengira Aisyah telah berada di dalam pelangkin. Perawakannya yang kecil seolah membuat para penuntunnya tak merasakan apapun. Shafwan juga tertinggal karena urusannya juga baru selesai.

Shafwan kaget ketika mengetahui bahwa Aisyah berada di tengah hamparan pasir yang luas. Ia kemudian menyuruh Aisyah untuk naik ke atas unta dan dituntun olehnya hingga memasuki kota Madinah.

Peristiwa ini sebenarnya bukanlah masalah yang besar mengingat Aisyah adalah wanita yang menjaga kesuciannya dan Shafwan merupakan salah seorang sahabat Nabi yang terpercaya. Namun Abdullah bin Ubayy membesar-besarkan masalah ini dengan mengatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang bukan-bukan antara Shafwan dan Aisyah. Dampaknya, Aisyah sakit keras, sikap Nabi berubah kaku terhadapnya, dan gunjingan orang tak henti-hentinya berhembus.

Aisyah diselamatkan oleh wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad, surat An-Nur ayat 11-16. Setelah peristiwa fitnah tersebut, yang lebih dikenal sebagai hadits al-ifk, ayat-ayat setelahnya turun dan seolah-olah “mengekang” keluarga Nabi. Tujuannya, untuk membuat keluarga Nabi lebih terjaga dari pada keluarga-keluarga yang lainnya. Surat Al-Ahzab dan An-Nur adalah dua surat yang banyak membahas soal keluarga Nabi. Bahkan, surat Al-Ahzab sendiri hampir seluruhnya berbicara tentang Nabi dan keluarganya.

Mari kita masuk ke dalam redaksi ayat tersebut. Pemahaman saya atas petikan ayat dari surat Al-Ahzab ayat 59 yang berbunyi ”....hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu tidak diganggu” berbeda dengan sampeyan. Jika sampeyan sebatas menyebutkan ayat tersebut dan memaknainya sebagai sebuah perintah yang wajib, maka tidak demikian dengan saya.

Bersandar pada apa yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam bukunya, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, tertulis bahwa turunnya ayat ini secara spesifik adalah dampak dari orang-orang munafik yang sering menggoda wanita-wanita muslimah. Ketika mereka hendak buang hajat di padang pasir, lelaki usil tersebut mengintip mereka. Hal ini diadukan pada Nabi, dan, ketika Nabi menegur para tersangka itu, mereka hanya berkata: “kami mengira kalau mereka itu wanita hamba sahaya”.

Hamba sahaya, pada masa itu, biasanya tidak menutup kepala dan rambut mereka. Bahkan, beberapa di antara budak wanita itu bertelanjang dada. Hal inilah yang menjadi dalih kaum munafik untuk menggoda wanita-wanita yang tidak menggunakan pakaian penutup kepala. Mereka melakukannya tanpa tedeng aling-aling, tanpa tanpa takut terkena teguran Nabi.

Dari situlah ayat tersebut turun, untuk membedakan antara wanita merdeka dan wanita hamba sahaya. Illat yang ada pada saat itu jelas. Karena Umar bin Khattab sendiri, tulis Quraish Shihab, pernah mencambuk seorang wanita budak yang mengulurkan jilbabnya. Artinya, ayat ini bertujuan untuk menempatkan wanita muslimah sebagai seorang wanita yang terhormat. Apa yang membedakan wanita terhormat dan hamba sahaya, pada saat itu, adalah pemakaian jilbab tadi.

Kini, perbudakan telah dihapuskan. Islam telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Terhormat pun, dengan perbedaan budaya dari berbagai macam tempat, memiliki definisinya masing-masing. Jika dalam sebuah kebudayaan atau masyarakat setempatseorang wanita dapat dikatakan terhormat ketika ia memakai daster dan menjaga perannya sebagai seorang wanita, maka fungsi jilbab sebagai penjaga kehormatan seorang wanita gugurlah sudah. Apa yang menjadi illat pada saat itu tak akan berlaku lagi.

Terlebih lagi, tidak semua apa yang tertulis dalam Al-Qur’an yang menggunakan kata perintah (fi’il amr), adalah sesuatu yang sifatnya wajib dan tak boleh ditawar lagi. Beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menggunakan kata perintah. Misalnya, ayat terkait piutang dan ayat yang berkaitan dengan hubungan seks pada malam hari bulan Ramadhan dalam surat Al-Baqarah. Meski ayat terkait piutang pada ayat 282 menggunakan kata perintah “fa ktubuuh” (maka tulislah) agar kita menulis utang-utang kita, namun hukumnya tidaklah wajib. Demikian pula, dalam surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi “fal aana baasyiruuhunna” (maka sekarang campurilah mereka). Ayat tersebut tidak “mewajibkan” orang Islam untuk melakukan hubungan suami isteri pada malam hari bulan Ramadhan, namun hanya sebatas “membolehkan” saja.

Benarlah apa yang dikatakan Nasaruddin Umar, bahwa persoalan jilbab akan kurang bijaksana ketika ia dinilai dari sisi teologisnya semata. Artinya, kita akan menilai seorang wanita muslimah hanya dari jilbabnya saja. Seolah-olah kemudian kita beranggapan bahwa mereka yang tidak berjilbab adalah seorang pendosa yang sesat.

Jika demikian, maka Yenny Wahid, Megawati Soekarno Putri, Najwa Shihab, Tjut Nyak Dien, dan tokoh-tokoh muslimah Indonesia yang lain adalah juga seorang pendosa. Saya tak ingin menyimpulkan demikian adanya, dan ingin menganggap bahwa jilbab adalah baik bagi mereka yang memilih untuk memakainya. Yakni, mereka yang ingin berjilbab, dan sadar mengapa mereka mesti berjilbab.

Saya kira kita memiliki penafsiran yang berbeda, Mbak Siti Nurjannah. Dan dari penafsiran itulah, Islam tak dapat diseragamkan pada hal-hal yang sifatnya khilafiyah. Apalagi menggunakan sesuatu yang sifatnya khilafiyah itu untuk memprovokasi mahasiswa baru agar mereka membalik badan pada display UKM yang lalu. Bukankah begitu?

Seribu kali lagi terima kasih dari saya....

//Kaliurang, 14 Agustus 2011
tulisan dari kawan Siti Nurjannah dapat dilihat di:
http://ekspresionline.com/2011/08/10/sebuah-pelurusan-terkait-opini-yang-dimuat-di-ekspresi-online/

Kamis, 21 Juli 2011

Hari Ini, Tak Seorangpun Menangis di Tepi Pantai

Laut adalah pendengar terbaik. Segala bentuk luapan perasaan mampu ia tampung dalam samudranya yang tak berbatas. Gemuruh angin yang berhembus di pantai ialah sebentuk bahasa tanpa kata-kata. Siapapun bisa menafsirkannya dengan bebas.

Di pantai alam selalu berbahasa. Beruntunglah mereka yang lahir di kota-kota pantai, beruntunglah kamu. Terberkahilah semua hari dalam hidupmu. Hari yang dulu kamu mulai dengan sebuah tangisan. Di sampingmu juga ada tangisan-tangisan lain. Air mata meleleh dari mata orang-orang yang berbahagia dengan kehadiranmu di dunia. Di pipi mereka terekam jejak air serupa dua buah aliran sungai. Tentu saja, saat itu kamu masih terlalu kecil untuk memaknai jejak air tersebut.

Kemudian kamu tumbuh besar. Kamu mengembara ke kota pantai yang lain. Di sana kamu memulai perjalanan dan pelajaran lain tentang hidup. Kamu juga menemukan bahwa terkadang hidup bisa menjadi begitu sialan…

Paulo Coelho pernah menulis dalam blognya. Kurang lebih kuterjemahkan seperti ini : hambatan dan kesulitan membuat manusia jadi punya arti, kesulitan dan hambatan yang berhasil diatasi membuat manusia menjadi “seseorang.” Entah. Aku cuma salah satu pengagum sastrawan Brazil itu. Aku sepakat dengannya. Mungkin tidak semua orang sepakat dengan kata-kata Coelho. Tapi tak mengapa. Tidak sepakat bukan hal yang buruk, kan?

Ada hari dimana aku melihatmu berbaring di pasir pantai saat subuh. Kulihat matamu tampak menerawang kosong. Beberapa jam sebelumnya, kamu menuang air mata rasa duka ke dalam gelas. Aku ikut meminumnya bersamamu, sampai tuntas semua sedihmu. Kelak kalau kamu menuangnya lagi, lagi-lagi aku akan meminumnya bersamamu. Lagi, lagi dan seterusnya. Aku tahu, kamu pun akan melakukan hal yang sama jika aku yang berada di posisi penuang air mata.

Kita minum segelas air mata itu sama-sama. Gelas-gelas air mata yang kita minum menyerupai siklus yang tak berujung. Ada kalanya air mata itu berasa duka, ada masanya air mata itu berasa bahagia. Lalu tak seorangpun butuh minum alkohol lagi untuk mengusir perih.

Aku akan mengerti dan tetap mengerti, begitu juga denganmu. Aku mau selalu memahami perasaanmu yang berlipat itu. Kita akan duduk di pantai lagi, dan aku akan memberanikan diri untuk berkata, “ Terkadang hidup memang begitu.”

Dan lihatlah, Sayang. Hari ini, tak seorangpun menangis di tepi pantai. Semua seolah ikut berbahagia untukmu. Untuk kamu yang berani berkata jujur lewat sarkasme. Kamu yang duapuluhtiga tahun lalu hadir di bumi pantai utara. Sayang, terkadang hidup juga bisa begini. Tersenyumlah, untuk hari ini dan seterusnya…