Minggu, 27 Maret 2011

Perlawanan Dari Balik Dinding Kaca*

Ketika kesadaran melawan tindakan represif tidak kunjung padam, demi mereka yang tertindas.

Warung Kopi Blandongan berlokasi di selatan Plaza Ambarukma, mal terbesar di Yogyakarta. Walaupun jaraknya tak jauh dari mal, kesan glamor sama sekali tidak melekat pada warung kopi itu. Bagian dalamnya didomiasi oleh beberapa meja kayu panjang. Kursi kayu yang tak kalah panjangnya terletak di dekat setiap meja.

Sore itu sekitar pukul lima, Muammad Syukur duduk bersama empat orang rekannya di salah satu kursi panjang. Penampilannya terlihah sederhana dengan balutan kaus putih dan celana jeans abu-abu gelap. “Konon di sini tempat nongkrongnya aktivis-aktivis Jogja lho,” katanya.

Pers Mahasiswa Vis a Vis Pemerintah

Syukur adalah aktivis di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia mengemban amanah sebagai pemipin umum Arena. Sudah sekitar setengah tahun ia menjalani dinamika sebagai orang nomor satu di Arena.

Pers berfungsi menguatkan demokrasi melalui kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan, pers mahasiswa pun begitu. Namun, perjalanan menuju kebebasan pers tidak selamanya mulus di Indonesia, terutama ketika orde baru (Orba) berkuasa. Rezim yang represif itu mengekang kebebasan pers. Beberapa pers mainstream maupun pers mahasiaswa menjadi korban pembredelan Orba, tak terkecuali Arena.

Kala itu, ketakutan akan pembredelan oleh pemerintah sangat mempengaruhi pemberitaan-pemberitaan media. Banyak media memilih untuk menurunkan “berita aman” tentang keberhasilan ekonomi pembangunan guna menghindari ancaman bredel. Namun, tidak demikian dengan Arena.

Pemberitaan Arena mengenai pembangunan Waduk Kedung Ombo di Semarang pada 1987 membuat pemerintah geram. Ketika media-media lain memberitakan dampak positif pembangunan waduk, Arena dengan berani mewartakan penggususran petani dan penduduk yang bermukim di daerah yang akan dibangun waduk. “Pada saat itu berita-berita yang ada tidak memihak kepentingan rakyat, hanya menyiarkan keberhasilan ekonomi pembangunan. Isu-isu kerakyatan hampir dilupakan oleh media. Arena ingin menghadirkan sikap perspektif baru tentang media, khususnya saat bicara tentang media pers mahasiswa (persma),” kata Syukur. Tak ayal, pemerintah pun membredel LPM yang menggunakan kata-kata “Kancah Pemikiran Alternatif” sebagai jargonnya.

Walaupun dibredel, Arena tidak mati. Pria yang lahir di Bangkinang, provinsi Riau ini punya pandangan sendiri tentang kemampuan Arena bertahan hingga sekarang. Menurutnya, LPM ini dapat bertahan atau tidak adalah soal generasi. Setiap generasi mempunyai semnagtanya sendiri-sendiri. “Artinya walaupun dulu Orba berkuasa dengan begitu represif, hal ini justru membuat gerakan mahasiswa semakin masif.”

Melalui majalah yang terbit sekali setiap periode kepengurusan, Arena rutin mengawal jalannya penyelenggaraan negara. Hingga kini Arena masih berjuang sebagai pers yang mendorong isu-isu kerakyatan untuk dibicarakan menjadi isu-isu politik, bukan sebaliknya. Contohnya pemberitaan tentang ketidakadilan yang dialami buruh, eksploitasi petani, pemberitaan mengenai mentalitas budaya masyarakat Indonesia dan sebagainya.

Misalnya saja majalah Arena yang terbit tahun 2008. Majalah itu memberitakan ketidakadilan PT. Krene Gresik terhadap buruh-buruhnya, mulai dari pemutusan hubunga kerja secara sepihak, pemotongan gaji kerja, pembrengusan serikat pekerja dan sebagainya.

Bahkan pada majalah terbitan 2010 pun Arena masih setia mengangkat isu-isu kerakyatan. Majalah itu mengangkat upaya eksplotasi PT Semen Gresik, Tbk di Pati, Jawa Tengah. Syukur ikut menggarap majalah ini. Posisinya sebagai sekertaris redaksi saat itu membuatnya terlibat dalam penulisan majalah.

PT Semen Gresik, Tbk berencana membangun pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Pati. Pembangunan itu bertujuan untuk memacu produksi semen agar dapat tetap bersaing dengan pabrik semen-pabrik semen lain. Namun, pembangunan itu memicu polemik.

Rezim Orba yang otoriter memang sudah berlalu, tetapi pola-pola pembangunan yang menyerobot tanah rakyat masih terus terjadi. Terutama bagi beberapa proyek eksploitasi sumber daya alam. Warga sekitar Pegunungan Kendeng menjadi salah satu korban yang mengalami penyerobotan tanah. Menurut majalah Arena tahun terbit 2010, sejumlah calo membeli tanah warga dengan harga rendah. Mereka mengatakan membeli tanah warga untuk ditanami pohon jarak yang nantinya akan dimanfaatkan sebagai biodiesel. Ternyata warga ditipu, di tanah tersebut akan berdiri pabrik semen. Kekhawatiran terhadap kerusakan sumber daya alam ikut membayangi warga. Pasalnya, selama bertahun-tahun mereka bergantung pada lahan dan air dari Pegunungan Kendeng untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Warga pun berusaha melawan dengan membentuk Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK).

Syukur dan dua orang teman sesama pegiat Arena meliput upaya eksploitasi tersebut. Selama dua minggu mereka tinggal di daerah Pegunungan Kendeng. Bukan hal mudah menjadi wartawan di daerah yang sedang bergejolak, mereka sempat diikuti intel. Karena alasan keselamatan, mereka tinggal berpindah-pindah dari satu rumah warga ke rumah lain.

***

Sebagai orang yang telah menggeluti dunia persma sejak 2007, Syukur sudah paham alasan-alasan mahasiwa memilih menjadi pegiat di persma. Ia membagi alasan tersebut ke dalam tiga kelompok. Alasan pertama, bergiat di persma sebagai jenjang karir, misalnya karena ingin menjadi wartawan profesional. Kedua, sebagai upaya pengembangan diri, misalnya untuk belajar menulis. “Yang ketiga, ada juga yang murni karena keinginannya untuk tidak diam ketika melihat penindasan. Karena berdasarkan Alquran dan sunnah, diam ketika melihat penindasan adalah selema-lemahnya iman. Dan mereka tidak mau menjadi orang yang lemah imannya,” kata Syukur sambil tersenyum.

Syukur yang mulai kuliah di UIN Sunan Kalijaga pada 2006 berkenalan dengan Arena pada tahun 2007. Ketika itu ia diajak oleh seorang senior Arena. Gayung bersambut, Syukur tertrik. Mahasiswa Fakultas Syariah itu mengakui, pada awalnya ia bergabung dengan Arena karena ingin mengembangkan kemampuan menulisnya. Lalu setelah dua tahun lebih bergabung dengan Arena, motivasinya berubah. “Setelah kenal banyak dengan para pendahulu dan membaca sejarah Arena, hati saya tergerak bahwa LPM ini harus menjadi wadah gerakan, bukan hanya mengembangkan potensi (diri sendiri) tapi juga untuk nurani. Bentuk kepedulian ketika melihat penindasan,” kata pria yang lahir pada 23 Juli 1987 itu

.Ketika ditanya apa yang membuatnya bertahan di Arena hingga sekarang, Syukur memberi jawaban yang mengejutkan. “Itu yang sampai sekarang belum saya temukan, mengapa saya bertahan di Arena.” Tapi satu yang pasti, ia ingin menyiapkan generasi setelah periode kepengurusannya. “(Selain itu) Nggak muluk-muluk ingin membesarkan Arena. Hanya melakukan semaksimal mungkin. Menerbitkan buletin ya yang maksimal, webnya Arena juga bisa up date setiap hari,” katanya menambahkan.

Perlawanan Dari Balik Dinding Kaca

Dua hari kemudian saya kembali bertemu dengan Syukur. Kali ini kami bertemu di kantor Arena, di lantai satu gedung Student Center (SC) UIN Sunan Kalijaga. Saat itu sekitar pukul tujuh malam. Gedung SC yang berlantai tiga tampak ramai oleh beberapa mahasiswa yang sedang berlatih teater.

Menurut majalah Arena terbitan tahun 2008, pemusatan kantor Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di gedung SC menuai sejumlah permasalahan. Sentralisasi kegiatan ekstrakurikuler dalam satu gedung tersebut lebih dipandang para aktivis UKM sebagai upaya rektorat untuk memperkuat kontrol terhadap aktifitas mahasaiswa. Pandangan tersebut bukan tak beralasan. Berlakunya jam malam sangat membatasi aktifitas. Apalagi jika dilihat dari kaca yang difungsikan sebagai dinding depan semua kantor UKM, kantor pun jadi menyerupai aquaium. Dinding kaca itu makin menguatkan asumsi tersebut.

Luas kantor Arena sekitar 12 meter persegi, dinding depannya dari kaca. Malam itu hanya ada Syukur di kantor. Ia menunjukkan beberapa majalah dan buletin terbitan Arena. Dari dalam kantor, suara mahasiswa-mahasiswa yang berlatih teater terdengar cukup jelas. Ini sedikit mengganggu konsentrasi saya untuk membaca majalah dan buletin. Setelah puas membaca sepintas beberapa tulisan, saya berpamitan padanya. “Saya juga mau pulang kok, Mbak,” katanya. Kami pun bermaksud meninggalkan kantor bersama-sama.

Saya terkejut ketika Syukur tidak mengunci pintu kantor Arena. Ketika saya bertanya mengapa pintu tidak dikunci, Syukur menjawab sambil tersenyum. “Kuncinya kami buang. Kami nggak mau setiap akan masuk kantor harus minta kunci pada satpam, itu menyulitkan kami, padahal ini rumah kami.” Beberapa kali Arena kehilangan hard disk komputer sebagai konsekuensi dari perlawanan mereka terhadap aturan yang mengekang itu. Saya menangkap kesan, Arena ini masih akan terus melawan segala tindakan represif, dengan cara mereka.

*Tulisan ini menjadi juara dua dalam Lomba Menulis Feature Online Pekan Komunikasi 2011, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (HMIK UI)


Foto oleh : M. Naufal Fakhri


3 komentar:

  1. Hai Kartika, senang sekali saya hari ini karena bisa jalan-jalan di blog kamu. Semua tulisanmu disini sangat informatif dan banyak memberi inspirasi bagi siapa pun yang membacanya.

    Saya ucapkan selamat karena Kartika telah berhasil meraih juara kedua dalam Lomba Menulis Feature Online Pekan Komunikasi 2011, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (HMIK UI).

    Semoga Kartika tak pernah bosan menulis walaupun nanti sibuk menjadi bu
    dokter.

    Salam manis
    Puri Areta
    http://www.puriareta.co.cc

    BalasHapus
  2. tika makin keren deh pokoknya :D

    BalasHapus
  3. Ibu Puri : terima kasih banyak, Ibu :)

    Ricky : Makasih juga, Ki :D

    BalasHapus