Minggu, 11 Juli 2010

Orang Miskin (Masih) Dilarang Sakit

“Kemiskinan adalah musuh nomor satu manusia. Satu kemiskinan dapat menyebabkan sejuta bahaya.” (Henrik Ibsen)

Ini karikatur yang saya buat untuk mengkritik sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Memang bukan gambar yang bagus, tapi ini hal yang mungkin terjadi pada orang miskin, mati sebelum mendapat layanan kesehatan!



Era otonomi daerah harus dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan oleh pemerintah kepada warga negara. Sayangnya otonomi daerah yang telah berlangsung belum memberikan perubahan yang signifikan. World Development Report 2004 menyatakan bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses orang miskin dan hal ini memicu terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Sudah menjadi kewajiban negara untuk mengambil peran sentral dalam memberi pelayanan sosial kepada rakyat. Konsep klasik pelayanan sosial terdiri atas lima hal dasar : kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Welfare state adalah sebutan bagi peran sentral negara terhadap lima hal tersebut.

Kesehatan menjadi salah satu unsur welfare state yang harus dipenuhi. Berbicara tentang pelayanan kesehatan, nampaknya orang miskin berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka ingin sembuh dari penyakitnya. Di sisi lain, untuk sembuh perlu biaya yang tidak sedikit.

Banyak daerah yang masih membebankan tarif tinggi untuk layanan kesehatan. Bahkan ada daerah-daerah yang menjadikan pelayanan kesehatan sebgai sumber terbesar pendapatan asli daerah (PAD). Di lingkup DIY sendiri hal itu masih terjadi. Berikut ini data dari Institute for Development and Economics Analysis mengenai analisis APBD kabupaten dan kota di Yogyakarta 2006.



Asuransi kesehatan untuk masyarakat miskin (Askeskin) diharapkan menjadi jaring penyelamat bagi penduduk miskin di kala sakit. Namun, belum semua penduduk miskin di DIY merasakan pelayanan program kesehatan tersebut.



Jika orang miskin sakit, ia akan menghadapi tiga persoalan. Pertama, kemana akan dibawa. Biaya di Puskesmas memang murah. Namun, tidak semua penyakit dapat ditangani karena keterbatasan peralatan medis. Rujuk ke rumah sakit tentunya akan memakan biaya lebih banyak. Kedua, jika harus ada pemeriksaan tambahan, sudah pasti ini akan semakin menguras kantong. Pemeriksaan tambahan bukan sesuatu yang gratis. Ketiga, biaya obat-obatan. Biaya obat-obatan selalu berkorelasi dengan banyaknya obat yang diresepkan dokter.

Lengkap sudah penderitaan orang miskin. Sakit yang diderita, mahalnya pelayanan kesehatan, belum lagi kualitas pelayanan kesehatan. Nampaknya tidak berlebihan bila Eko Prasetyo menulis buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit. Realita yang terjadi membuat seolah orang miskin memang dilarang sakit. Wiji Thukul mengabadikan realita tersebut dalam puisi Suti :
Suti tidak pergi kerja
Pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
Tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
Batuknya memburu
Dahaknya berdarah
Tak ada biaya


Suti kusut masai
Di benaknya menggelegar suara mesin
Kuyu matanya membayangkan
Buruh-buruh yang berangkat pagi
Pulang petang
Hidup pas-pasan
Gaji kurang
Dicekik kebutuhan


Suti meraba wajahnya sendiri
Tubuhnya makin susut saja
Makin kurus menonjol tulang pipinya
Loyo tenaganya
Bertahun-tahun dihisap kerja


Suti batuk-batuk lagi
Ia ingat kawannya
Sri yang mati
Karena rusak paru-parunya


Suti meludah
Dan lagi-lagi darah

Suti memejamkan mata
Suara mesin kembali menggerumuh
Bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
Tahu mereka dibayar murah

Suti meludah
Dan lagi-lagi darah

Suti merenungi resep dokter
Tak ada uang
Tak ada obat


Kemiskinan bukan hanya deretan angka di tabel-tabel terbitan Biro Pusat Statistik. Ia adalah kenyataan yang hidup di sekitar!

4 komentar:

  1. Kalau pendidikan bisa dikomersilkan, apalagi kesehatan yang instrumennya lebih konkrit dan memang mahal. Lagi-lagi, ini bukan persoalan kesehatan saja. Fundamentalisme pasar telah mengangkang di otak pejabat elit negeri, tak terkecuali Departemen Kesehatan. Lahan kesehatan pun dieksploitasi habis-bahisan.

    Kalau sudah begini, aku sangat berharap pada (generasi) akademisi dan praktisi kesehatan yang tentunya punya peran signifikan. Jangan karena biaya sekolah kesehatan mahal, orientasi utama tenaga medis adalah kekayaan. Karena aku pikir, kekayaan itu sudah terberikan bagi pekerja kesehatan, tanpa harus diprioritaskan.

    Tapi, terus tak harus menjadi Che Guevara. Cukup sebagai inspirasi saja. Begitu kira-kira, Ka.

    BalasHapus
  2. iya din, aku sepakat. aku pun kaget melihat data-data yg aku dan kawan2 himmah temukan. miris sekali rasanya. sakit saja sudah sangat menderita, masih juga menanggung biaya yg sangat mahal. kadang nggak sampai di logika aku, tega sekali orang-sorang sakit itu dijadikan sumber PAD terbesar! mungkin ini pertanyaan yg naif : apa pejabat2 elit negeri ini masih punya nurani? apa nuraninya sudah dibunuh oleh yg kmu bilang fundamentalisme pasar?

    "Jangan karena biaya sekolah kesehatan mahal, orientasi utama tenaga medis adalah kekayaan. Karena aku pikir, kekayaan itu sudah terberikan bagi pekerja kesehatan, tanpa harus diprioritaskan." --> aku suka (dan sangat sepakat) sama kata2mu ini. semoga kelak kalau sudah jadi dokter aku bisa jadi dokter yg baik. mungkin memang tak akan seperti Che Guevara. tapi mudah2an bs mendobrak sistem yg busuk. seandainya tdk bs mendobrak sistem, setidaknya bisa tidak terseret ke dalamnya. itu akan jadi selemah-lemahnya iman perjuangan. ( walaupun terdengar agak naif)

    BalasHapus
  3. Adanya penyakit membuat banyak pihak mendapat untung ya mungkin ini sudah jadi lahan basah mereka hehehe...
    bukan hanya biaya yg mahal, setiap kesalahan medis sangat sulit untuk diadili ( malpraktek ) kemudian Mahalnya ongkos masih juga diperuncing oleh beredarnya obat palsu.
    “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “.(Soekarno)
    selalu berjuang untuk kaum marhaen dan proletar.

    BalasHapus
  4. adel : memang rumit y permasalahan ini

    BalasHapus