Rabu, 01 September 2010

Yang Berpeluh pada Penghujung Subuh

Ketika nadi kehidupan seolah belum berdetak di Universitas Islam Indonesia (UII), mereka sudah lebih dulu bergerak.

Belum genap jam enam, udara dingin masih merajam. Boulevard UII tampak lengang, hanya terdapat dua orang pria paruh baya sedang lari pagi. Lampu penerang jalan masih menyala di sepanjang boulevard. Bulan separuh pun masih menggantung di langit yang perlahan mulai terang.

Suara sapu lidi yang bergesekkan dengan trotoar memecah keheningan. Seorang pemuda mengenakan kaus ungu tua, celana jins dan kaki yang beralaskan sandal jepit biru menyapu dengan sapu lidi bergagang panjang. Tubuhnya kurus dengan tinggi sekira 170 sentimeter. Ia adalah Syarif, satu dari 14 karyawan yang bertugas menjaga kebersihan lingkungan di luar gedung-gedung UII.

Meskipun jam kerjanya mulai pukul tujuh, setiap hari Syarif berangkat sekitar jam 05.45 WIB. “Berangkat awal biar bisa istirahat lebih gasik,” kata Syarif sambil tertawa. Statusnya masih karyawan kontrak. Syarif sudah bekerja selama kurang lebih tujuh tahun di UII. Setiap pagi ia menyapu area samping Masjid Ulil Albab, termasuk di depan tempat penemuan Candi Pustakasala yang sempat menghebohkan beberapa waktu lalu. Siangnya ia akan sibuk merawat taman, kebun dan selokan hingga jam kerja berakhir pada pukul empat sore.

Salah seorang pekerja kebersihan sedang menyapu di boulevard UII

Berdasarkan Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakart Nomor 217/KEP/2009, Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010 sebesar Rp 745.694. Jika kelayakan upah diukur berdasarkan upah minimum itu, penghasilan Syarif sudah mendekatinya. Sejak tiga tahun yang lalu, penghasilan bersihnya 28.000 rupiah perhari. Setelah sebelumnya mengalami kenaikan dari 15.000 dan 18.000 per hari.

UII menggunakan nama Pesona Ta’aruf (Pesta) untuk menamai kegiatan orientasi pengenalan kampus kepada mahaisswaa baru. Setiap kali Pesta diselenggarakan, pekerjaan Syarif dan kawan-kawannya menjadi berlipat. Saat Pesta selalu ada banyak sekali sampah. “Tapi bayaran untuk membersihkan tidak ditambah. Panitia mahasiswa itu nggak tahu kalau kita yang membersihkan. Istilahnya nggak ada komunikasi. Mereka nggak memberikan uang tambahan,” kata pria berusia 28 tahun itu.

***

Sudah Sembilan bulan Waluyo menjalani pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan Syarif. Hanya saja ia membersihkan lingkungan dalam wilayah yang lebih sempit. Dia dan 11 orang lainnya bertanggung jawab terhadap kebersihan area sekitar gedung Fakultas Kedokteran. Jam kerjanya pun sama, dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore.

Waluyo sedang menyapu area parkir Fakultas Kedokteran. Kaus berkerah warna biru membalut tubuhnya yang tampak berisi. Celana panjang coklat yang dia kenakan hampir sewarna dengan daun-daun kering yang ia sapu. Dia mengumpulkan sampah daun kering dalam gundukan-gundukan kecil. Pada musim kemarau sampah daun kering akan dibakar, sedang pada musin hujan sampah itu akan ditimbun. Setelah selesai menyapu, Waluyo akan merawat taman-taman di Fakultas Kedokteran.

Dalam hal penghasilan, Waluyo tidak seberuntung Syarif. Gajinya 350.000 per bulan, jauh dibawah ketentuan upah minimum. Gaji itu bukan berasal dari UII. “Yang menggaji kami bukan UII, tetapi CV Wijaya Kusuma. Saya dan kawan-kawan kerja pada CV Wijaya Kusuma. Fakultas Kedokteran UII bekerja sama dengan CV Wijaya Kusuma. CV ini lah yang bertanggung jawab terhadap kebersihan di luar gedung Fakultas Kedokteran,” katanya

Upah yang minim tidak membuatnya menyerah dan bergantung pada belas kasihan. Sebuah upaya dia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Ia membuka warung kelontong di rumah, warung yang dia kelola bersama dengan istri.

Kedua tangan Waluyo menyapu daun-daun kering dengan sigap. Sesekali ia merapikan ikatan lidi pada sapunya. Titik-titik keringat mulai bermunculan di dahi Waluyo. Tak satu pun keluhan terucap selama ia menyapu. Seolah Waluyo ingin menunjukkan bahwa dibalik pekerjaannya ada kekuatan yang jauh dari keputusasaan.

Beberapa mobil dan motor mulai berlalu-lalang di boulevard pada pukul tujuh. Sebagian besar boulevard sudah bersih dari sampah. Tentu saja, ini berkat para pekerja yang sudah bergerak sejak penghujung subuh.


Foto oleh Akhmad Ikhwan fauzi

3 komentar:

  1. Hmmmmh (tarik nafas panjang)....memang susah kalau menyapu tapi tak "dihargai" sesuai dengan jerih payah. Padahal, merekalah para "pahlawan" sejati itu. Pahlawan yang mampu memberikan kesan dari para penghujung (baik tamu ataupun civitas akademika UII sendiri) akan keindahan UII.

    *Nice note, Mbak Tika ":-)

    BalasHapus
  2. itu toh yang namanya boulevarat. aku tak pernah tau meski malang melintah dsitu 6 taon..
    its good ur write..

    BalasHapus
  3. Haris : makasih, ris. kita sama-sama belajar nulis ya..
    edi : terima kasih dan salam kenal, edi. dulu kuliah di uii jg y?

    BalasHapus