Minggu, 19 Desember 2010

Dari Jendela Kamarku

Segala seuatu memiliki awal mula. Hariku bermula dari sini, dari empat sisi dinding bercat ungu muda, kamarku.

Luas kamarku sekira dua belas meter persegi. Sebuah kamar yang meja belajarnya selalu berantakan oleh tumpukkan buku. Dua lemari buku dan satu meja komputer kecil sudah tak kuasa menampung semua bukuku, akibatnya meja belajarku ikut menjadi tempat penampungan buku. Aku hanya bisa menggunakan meja itu jika seluruh bukunya kupindahkan di lantai untuk sementara. Tidak jarang tumpukkan buku itu rubuh jika aku menyusunnya terlalu tinggi atau tidak seimbang. Di samping meja kacau itu, sebuah jendela melekat di tembok. Satu-satunya jendela di kamarku.

Setiap pagi atau siang -bergantung dari pukul berapa aku bangun- aku memulai hariku dengan sebuah aktifitas rutin, membuka gorden jendela kamarku. Cahaya matahari segera berhamburan masuk begitu aku menyibakkan gorden abu-abu dengan sedikit hiasan motif batik. Tak ada pemandangan menarik dari jendela yang bersekat kawat nyamuk itu. Satu-satunya pemandangan hanyalah lorong sempit dan dinding putih berlumut yang membatasi rumah kontrakanku dengan rumah tetangga.

Itu telah menjadi semacam rutinitas, bangun tidur dan membuka gorden jendela. Sebuah rutinitas untuk mengawali hari yang belum kuketahui rencana Tuhan apa yang akan terjadi hari ini.

Lalu dimulai dari gorden dan jendela itu, aku ingin belajar mensyukuri satu hari lagi yang Tuhan berikan. Dalam rasa syukur itu, jika aku menangis semalam, aku berusaha tidak membawa air mata itu hari ini. Aku akan belajar lebih kuat. Ya, harus selalu belajar, belajar dan belajar, karena setiap hari adalah hari baru.

Hidup ini hanya sekali, dan yang sekali ini harus berarti…


2 komentar:

  1. jangan menyesali hari2 yg telah dilalui,, semua itu adalah anugrah..

    BalasHapus
  2. tetap semangat. kita masih diberi ksempatan tuk bangun dari tidur

    BalasHapus