Laut adalah pendengar terbaik. Segala bentuk luapan perasaan mampu ia tampung dalam samudranya yang tak berbatas. Gemuruh angin yang berhembus di pantai ialah sebentuk bahasa tanpa kata-kata. Siapapun bisa menafsirkannya dengan bebas.
Di pantai alam selalu berbahasa. Beruntunglah mereka yang lahir di kota-kota pantai, beruntunglah kamu. Terberkahilah semua hari dalam hidupmu. Hari yang dulu kamu mulai dengan sebuah tangisan. Di sampingmu juga ada tangisan-tangisan lain. Air mata meleleh dari mata orang-orang yang berbahagia dengan kehadiranmu di dunia. Di pipi mereka terekam jejak air serupa dua buah aliran sungai. Tentu saja, saat itu kamu masih terlalu kecil untuk memaknai jejak air tersebut.
Kemudian kamu tumbuh besar. Kamu mengembara ke kota pantai yang lain. Di sana kamu memulai perjalanan dan pelajaran lain tentang hidup. Kamu juga menemukan bahwa terkadang hidup bisa menjadi begitu sialan…
Paulo Coelho pernah menulis dalam blognya. Kurang lebih kuterjemahkan seperti ini : hambatan dan kesulitan membuat manusia jadi punya arti, kesulitan dan hambatan yang berhasil diatasi membuat manusia menjadi “seseorang.” Entah. Aku cuma salah satu pengagum sastrawan Brazil itu. Aku sepakat dengannya. Mungkin tidak semua orang sepakat dengan kata-kata Coelho. Tapi tak mengapa. Tidak sepakat bukan hal yang buruk, kan?
Ada hari dimana aku melihatmu berbaring di pasir pantai saat subuh. Kulihat matamu tampak menerawang kosong. Beberapa jam sebelumnya, kamu menuang air mata rasa duka ke dalam gelas. Aku ikut meminumnya bersamamu, sampai tuntas semua sedihmu. Kelak kalau kamu menuangnya lagi, lagi-lagi aku akan meminumnya bersamamu. Lagi, lagi dan seterusnya. Aku tahu, kamu pun akan melakukan hal yang sama jika aku yang berada di posisi penuang air mata.
Kita minum segelas air mata itu sama-sama. Gelas-gelas air mata yang kita minum menyerupai siklus yang tak berujung. Ada kalanya air mata itu berasa duka, ada masanya air mata itu berasa bahagia. Lalu tak seorangpun butuh minum alkohol lagi untuk mengusir perih.
Aku akan mengerti dan tetap mengerti, begitu juga denganmu. Aku mau selalu memahami perasaanmu yang berlipat itu. Kita akan duduk di pantai lagi, dan aku akan memberanikan diri untuk berkata, “ Terkadang hidup memang begitu.”
Dan lihatlah, Sayang. Hari ini, tak seorangpun menangis di tepi pantai. Semua seolah ikut berbahagia untukmu. Untuk kamu yang berani berkata jujur lewat sarkasme. Kamu yang duapuluhtiga tahun lalu hadir di bumi pantai utara. Sayang, terkadang hidup juga bisa begini. Tersenyumlah, untuk hari ini dan seterusnya…
wah udah lama ga nulis tek
BalasHapus