KONFIGURASI politik nasional sangat mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam kurun waktu tertentu. Lahirnya orde baru yang sarat dominasi militer, dengan ototarianismenya telah memberikan perubahan yang signifikan dalam hubungan antara pusat dan daerah. Sentralisasi kekuasaan pun tak terelakkan.
Penerapan hubungan sentralistik antara pusat dan daerah oleh orde baru menimbulkan efek double-negative. Akibat pendekatan yang serba terpusat, implementasi sentralisasi mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemerintah dan masyarakat daerah. Di sisi lain, hal tersebut menjadi beban berat bagi pemerintah pusat karena tanggung jawab terhadap perencanaan dan pengendalian pembangunan -baik pembangunan nasional maupun daerah- ada di pundak pemerintah pusat.
Pasca jatuhnya Jendral Suharto sang penguasa orde baru, berbagai arus perubahan datang pada segala aspek, tidak terkecuali pada hubungan pemerintah pusat dan daerah. Reformasi total pun menyentuh hubungan pusat-daerah yang semula sentralistik menjadi desentralistik. Tujuannya jelas, menghapuskan efek double-negative dari hubungan sentralistik tersebut.
Hubungan yang bersifat desentralistik bermula dari yang tertuang dalam UU No.22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Definisi otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Kedua undang-undang tersebut lalu direvisi dengan dikeluarkannya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
UU No. 32 tahun 2004 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Sedangkan pengertian tugas pembantuan ialah penugasan dari pemerintah kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan sosial ekonomi, yaitu meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.
Pratikno, Dekan FISIPOL Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan bahwa otonomi daerah harus mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaian masalah nasional. ”Misalnya ketimpangan daerah, percepatan pembangunan, dan pemerataan pembangunan, dan bahkan menjaga kesatuan. Sekaligus juga menyelesaikan permasalahan di internal daerah. Jadi memahami bagaimana demokrasi di daerah, keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat. Oleh karena itu, desain dari desentralisasi yang mengakibatkan otonomi seharusnya tidak semata-mata menyelesaikan permasalahan daerah, tetapi juga menyelesaikan permasalahan nasional sekaligus,” katanya.
Layaknya gading yang selalu retak, terdapat kelemahan-kelemahan dalam penerapan otonomi daerah. Menurut Abdul Gaffar Karim, dosen Pascasarjana UGM, Politik Lokal dan Otonomi Daerah, salah satu kekurangannya adalah beban politik yang timbul di daerah. “Otonomi daerah menimbulkan banyak sekali beban-beban politik. Orang awam akan cenderung menjadikan otonomi daerah sebagai peluang politik baru di tingkat lokal. Dari segi kesejahteraan rakyat, implementasi otda masih jauh, tapi dari segi pendidikan politik prosesnya benar-benar terjadi di lokal.”
***
TERCIPTANYA kesejahteraan rakyat adalah tujuan sosial ekonomi dari otonomi daerah. Hak-hak dasar warga negara harus terpenuhi untuk menciptakan kesejahteraan. Konstitusi telah menjamin hak-hak dasar warga negara. Ada delapan hak dasar yang tertuang dalam konstitusi ; hak rakyat memperoleh pendidikan, mendapatkan pelayanan kesehatan, dan memperoleh lingkungan yang sehat dan bersih, hak masyarakat miskin, penganggur, dan anak terlantar, serta jaminan sosial untuk kaum lanjut usia.
Era otonomi daerah harus dimaknai sebagai upaya mendekatkan pelayanan oleh pemerintah kepada warga negara untuk tercapainya tujuan di atas. Sayangnya otonomi daerah yang telah berlangsung belum memberi perubahan yang signifikan. World Development Report 2004 menyatakan bahwa layanan publik di Indonesia sulit diakses orang miskin dan hal ini memicu terjadinya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
“Tujuan pemerintah pada dasarnya adalah untuk mensejahterakan rakyat. Selama ini belum tercapai, maka pemerintahan itu belum bisa dinilai berhasil, “ kata Abdul Gaffar Karim. Ia menambahkan, kendala tercapainya kesejahteraan rakyat adalah alokasi anggaran. Setiap daerah memiliki persoalan sendiri-sendiri. Sementara yang terjadi selama ini proses anggaran tidak sepenuhnya diletakkan pada pencapaian kepentingan daerah, malah banyak menguntungkan elit-elit politik saja.
Sudah menjadi kewajiban negara untuk mengambil peran sentral dalam memberi pelayanan sosial kepada rakyat. Konsep klasik pelayanan sosial terdiri atas lima hal dasar : kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Welfare state adalah sebutan bagi peran sentral negara terhadap lima hal tersebut.
Kesehatan merupakan salah satu hak dasar -dan salah satu unsur welfare state- yang harus dipenuhi. Kesehatan adalah hak asasi manusia dan merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan sebuah bangsa.
Pembangunan kesehatan ialah bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Akar masalah dari rendahnya status kesehatan masyarakat sampai saat ini adalah karena pembangunan kesehatan belum berada pada arus utama dari pembangunan nasional. Salah satu indikatornya nampak pada alokasi anggaran sektor kesehatan yang rendah.
Laporan organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2000 menyatakan bahwa peranan dana sebagai salah satu masukan (input) sektor kesehatan sangat menentukan derajat kesehatan suatu negara. WHO telah merekomendasikan anggaran kesehatan minimal lima persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan TAP MPR No. 5/2003 menetapkan besarnya anggaran 15 persen dari total anggaran.
Menurut WHO, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat perlu anggaran kesehatan minimal lima hingga enam persen dari total APBN suatu negara. Sementara untuk mencapai derajat kesehatan yang ideal butuh anggaran 15-20 persen dari APBN.
Realitanya, anggaran kesehatan belum memenuhi syarat minimal lima persen dari WHO, apalagi 15 persen menurut TAP MPR No. 5/2003. Pada 2008 pemerintah menganggarkan Rp 16 triliun dan meningkat menjadi Rp 19,3 triliun pada 2009. Tetapi jumlah tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh WHO. Kalau dilihat dari TAP MPR, angka yang harus digelontorkan jauh lebih besar lagi yaitu Rp 155,6 triliun. Angka itu sebesar 15 persen dari APBN 2009 yang besarnya Rp 1037 triliun.
Belanja kesehatan selama era pemerintahan sentralistik tidak pernah lebih dari lim persen. Namun, dalam era desentralisasi beberapa kabupaten dan kodya telah mengalokasikan lebih dari lima persen anggarannya untuk kesehatan. Beberapa daerah seperti Kabupaten Morowali, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Jembrana dan Kota Makassar sudah menggratiskan biaya berobat penduduknya.
***
BIAYA kesehatan ialah besarnya dana yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Dari penjelasan tersebut, biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut ; dari penyedia pelayanan kesehatan (health provider) dan pemakai jasa pelayanan kesehatan (health consumer).
Dari sudut pandang penyedia pelayanan kesehatan, biaya kesehatan merupakan besarnya dana yang harus dikeluarkan untuk dapat menyelenggarakan upaya atau pelayanan kesehatan. Menurut definisi tersebut, biaya kesehatan menjadi persoalan pemerintah atau pihak swasta yang menyelenggarakan upaya kesehatan.
Sedangkan dari sudut pandang pemakai jasa kesehatan, biaya kesehatan adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan. Dalam batas-batas tertentu pemerintah berkewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan. Maka dari pengertian itu dapat disimpulkan bahwa biaya kesehatan menjadi permasalahan utama para pemakai jasa pelayanan kesehatan.
Permasalahan para pemakai jasa kesehatan menjadi pelik karena pembiayaan kesehatan di Indonesia masih menerapkan model pembiayaan klasik. Artinya, pembiayaan kesehatan banyak didominasi oleh model out of pocket, dimana masyarakat membayar jasa pelayanan kesehatan secara langsung dengan menggunakan uang dari sakunya sendiri. Sementara penyedia pelayanan kesehatan dibayar dengan sistem fee for service. Saat ini hampir 70 persen pembiayaan pelayanan kesehatan menggunakan model tersebut.
Model pembiayaan klasik menuai beberapa kelemahan. Pembiayaan akan sangat bergantung pada kondisi keuangan individu atau keluarga. Jika kondisi keuangan sedang sulit, akan timbul kecenderungan untuk tidak memanfaatkan layanan kesehatan. Model tersebut juga dapat merangsang pemberi pelayanan kesehatan (PPK) untuk memberikan pelayanan berlebihan dengan tujuan memperoleh tambahan keuntungan.
Berbicara tentang klasifikasi pembiayaan kesehatan di Indonesia, ada dua penggolongan untuk itu. Pertama, pembiayaan sektor publik, yang mencakup 25-30 persen dari pembiayaan kesehatan. Ini berasal dari anggaran belanja negara, baik pemerintah pusat maupun daerah. Termasuk di dalamnya pembiayaan melalui asuransi sosial seperti PT. Askes dan PT. Jamsostek. Kedua, pembiayaan sektor swasta, mencakup 70 persen dari total pembiayaan kesehatan di Indonesia. Ini meliputi pembiayaan langsung oleh pasien, asuransi swasta dan sumber-sumber lain.
Dengan model pembiayaan klasik dan sumber dana pembiayaan kesehatan di Indonesia yang sebgian besar berasal dari sektor swasta, tidak mengherankan bila perlu biaya tinggi untuk mengakses layanan kesehatan. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa desentralisasi belum sepenuhnya mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.